April 14, 2011

Dialog Imajiner Mata dan Tangan

Hampir semua karya bernuansa bidang-bidang persegi, garis, dan warna. Ada kertas yang diremas, kain yang tampak kusut dengan beberapa sobekan, kain lapuk, sisa-sisa benang jahitan, kawat, sampai lempeng logam patah-patah dengan beragam corak dan sifat mengisi bidang kanvas atau papan. Semuanya tampak berada pada kanvas atau papan yang tergantung di dinding ruang pamer Tembi Contemporary, Yogyakarta, 14 Februari – 14 Maret 2011. Namun, jangan salah lihat. Kain itu bukan kain sesungguhnya, dan kertas itu pun tak ada. Semuanya hanya tekstur. Perwajahan dari benda-benda itulah yang membuat kita berilusi bahwa itu benda sesungguhnya. Itulah sejumlah karya Anggar Prasetyo (Cilacap, 1973) yang diberi judul sesuai esai pengantar pameran, Texture Structure. Texture Structure adalah judul pameran diambil dari esai pengantar pameran yang ditulis oleh Hardiman. Penulisan ini mengacu pada kata-kata Anggar sendiri, “Bagi saya, persoalan seni rupa adalah persoalan elemen seni rupa itu sendiri. Karenanya, mengolah elemen visual adalah cara untuk menekankan bahwa seni rupa itu untuk mata.” Dan kalau itu bisa dikatakan pilihan berkesenian Anggar, maka pilihan itu agaknya jatuh pada tekstur. Maka, dalam pameran tunggalnya yang keempat ini tampak bahwa ia mengeksplorasi khusus mengenai cara menghadirkan ilusi optis dalam karyanya: mata menangkap ruang tiga dimensi yang dihasilkan dari tekstur, namun ketika diraba, sebagian karya nampak biasa saja, datar. Itulah olahan tekstur semu Anggar, yang juga dihadirkannya secara bersamaan dengan tekstur nyatanya, salah satunya Drapery Texture XVIII (2011), akrilik berwarna putih bergelombang dengan beberapa lubang di permukaanya, dilekatkan di atas papan. Tak hanya tekstur, Anggar juga mengolah komposisi: garis, bidang dan warna. Line Colour Composition VIII (2010), misalnya, bidang kuning yang bagian atasnya dibagi-bagi oleh garis-garis terbuat dari kawat (tekstur nyata), perpotongan vertikal-horizontal, dan di ruang yang tercipta dari perpotongan garis itu ada lingkaran, segitiga, setengah lingkaran, dan setengah segitiga. Lihat juga dalam Horizontal Line V (2010) yang mengolah garis (tebal-tipis) sebagai pembentuk tekstur (garis yang nampak ‘sengaja’ dikonstruksi sebagai struktur pembentuk tekstur), dan garis menyilang tampak membelah bidang. Menyoal mengenai figur, atau obyek pada karya Anggar, maka garis, bidang persegi, benang-benang lepas, sobekan-sobekan, atau sepotong sabit mungil pada Horizontal Line V itu bisa dikatakan dengan sendirinya muncul, lahir sebagai figur ‘baru’ dalam lukisannya. Dalam esai pengantar pameran, Hardiman menyebutkan bahwa Anggar memiliki kecenderungan formalisme, yaitu memperhatikan bentuk (form) daripada isi (content). “Seni rupa untuk mata,” tegas Anggar. Kecenderungan seni lukis abstrak formalis, seperti pendisiplinan elemen, konstruksi yang cermat, dan bentuk yang minimalis sehingga menghasilkan “purely optical space,” inilah mungkin ‘jalan’ yang ditempuhnya. Karena itu, karyanya seringkali terkesan kaku, kering, datar, ketat. Namun, ia mengingatkan kita pada bentuk abstrak geometris, misalnya pada “dinamika keruangan” Fadjar Sidik dan “de stijl” (The Style) Piet Mondrian. Kendati pun keduanya tidak secara khusus mengolah tekstur, atau tidak sama sekali, dan pengolahan bidang serta warnanya pun berbeda dengan Anggar, penyederhanaan, pemecahan bentuk menjadi elemen-elemen primer yang menyusunnya: garis (dengan kecenderungan arah vertikal dan horizontal), warna (kecenderungan pada warna-warna primer), dan bidang yang dibentuk oleh perpotongan garis bisa dibandingkan dengan ideologi estetik Anggar. Karya mereka bertiga ini nampak bergerak menuju minimalisme, nonrepresentasional - terutama dalam karya-karya komposisi garis dan warnanya. Tekstur (pada karakteristik permukaan, sifat perwajahan: halus, kasar, bergelombang, bergerigi, berlubang, dan sebagainya) dan struktur (susunan, konstruksi, bangunan) dalam karya Anggar menjadi dua hal tak terpisahkan: tekstur sebagai struktur. Keduanya saling membentuk. Salah satu yang nampak kaya dalam hal warna, tekstur, komposisi adalah Texture Composition (2010). Dua belas bidang kanvas disusun berdampingan membentuk bujursangkar. Setiap bidang memiliki permukaan, perwajahan dan warna yang khas. Tampak di sini pengolahan aspek gradasi dan kontras memegang peran penting. Pengolahan pada tekstur dan struktur nampaknya membawa Anggar pada persoalan pokok lukisan abstrak: tegangan antara yang optikal (visual, mata), dan taktikal (peraba, tangan). Agaknya, lukisan abstrak mengajak kita menyadari sensasi yang hadir lewat ‘dialog imajiner’ antara tangan (taktikal) dan mata (optikal) itu. Maka, mungkin pameran ini bukan terobosan, tapi kehadiran karya-karya Anggar ini bisa mengajak kita mengolah pengalaman “sense of touch.” Garis yang terbentuk dari lipatan, cerukan, roncetan, perjumpaan gelap-terang, dan sebagainya itu seperti mengundang “mata” kita untuk berdialog.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar