April 14, 2011
Keragaman Seruang
Reni Lampir, Johan Nes, Beni Rismanto., Harya Pujantara, Ani Khaliq’fah, Ecky Kartawitanto, Bodhas Ludira Yudha, Andha Pujantara, M. Usaffa. Nama-nama itu – kalau kita mengamati dunia seni rupa belakangan ini - bukan lah nama-nama yang sering muncul dalam berbagai pameran maupun ulasan seni rupa. Singkat kata, deretan nama tersebut mungkin memang bukan kategori yang ikut meramaikan “booming” seni rupa 2007-2009 lalu. Kali ini mereka, yang tergabung dalam Kelompok Seruang, berpameran bersama di Galeri Biasa, Jl. Suryodiningratan 10B, Yogyakarta, bertajuk Pada Suatu Ketika, 24 Maret – 30 Maret 2011. Judul pameran “Pada Suatu Ketika” itu sekilas terkesan sangat umum. “Pada Suatu Ketika” mengingatkan kita pada pelajaran mengarang. Kalimat itu seperti pembuka cerita kita. Isi cerita selanjutnya setelah kalimat itu tentu terserah si pengarang. Pendek kata, “Pada Suatu Ketika,” agaknya, mengesankan bahwa pameran ini membebaskan para pesertanya berekspresi dengan tema dan medium karya. Mungkin itu sebabnya sehingga tak nampak “isu” seragam yang direspon oleh mereka. Ada drawing-drawing Ani yang menampilkan figur manusia kurus, berkaki panjang, tanpa wajah detail, patung kayu surealis corong piringan hitam karya Ecky Kartawitanto (Mulutmu Bau, 2011). Ujung corongnya berbentuk mulut terbuka lebar, gigi-giginya kelihatan – sembari piringan hitam itu melaju lempengan bak piringan hitam, diputar di bagian belakang mulut yang menganga itu. Ada juga karya akrilik di atas batik oleh Beni yang ikon dominannya perempuan. Paradise (2010), misalnya, close-up wajah perempuan, menyamping, seperti tergeletak, dan ada tetesan cairan. Sekilas, tampilannya seperti poster. Di bagian lain, ada kepala bayi menyembul di lubang WC laki-laki. Kepala dan jari-jari bayi itu muncul, sisa tubuhnya seakan tenggelam di cairan WC. Sebagian cairannya tumpah, mengalir ke luar. WC merah berisi bayi itu adalah karya instalasi dari Harya Pujantara, Wasted (2011). Kisah mengenai benih yang terbuang begitu saja kah? Atau mengenai bayi yang tak jadi lahir karena faktor tertentu? Aborsi? Atau bayi yang dibuang, disia-siakan orang tuanya? Ada juga toilet duduk yang seluruh permukaannya dilapisi potongan kertas-kertas bekas bernuansa warna pastel. Bak patung (sculpture), toilet itu diletakkan di atas landasan yang dilapisi kain. Karya itu berjudul Saving for Nothing Yet (2011), karya M. Usaffa. Karya lukis ditampilkan oleh Reni Lampir dan Johan Nes. Sementara Rina menggunakan akrilik dan oil pastel untuk menampilkan imaji-imaji naif dan coretan serupa gambar anak-anak, dengan kekhasan warna dan sapuan kuasnya (Shiroi Kiku No Hana, 2011), Johan Nes, dengan ikon siputnya, mencoba berbicara mengenai situasi sosial. Dengan tampilan seperti komik anak-anak, Biar Lambat Bisa Kiamat (2011), seekor siput yang kakinya Bulldozer, sedang menuju sawah bak sedang memperlebar area pembangunan. Nampak Johan Nes sedang bercerita mengenai penggusuran yang perlahan namun pasti terjadi: sawah-sawah hijau diganti pemukiman, gedung-gedung tua diganti dengan pencakar langit. Baik tema maupun pilihan ikon untuk menyampaikan pesan tidaklah baru, atau mengalami eksplorasi yang bisa dikatakan ‘gila-gilaan. Namun, salah satu yang menarik di sini adalah perihal keragaman medium. Pendek kata, di balik tema pameran yang tak spesifik, ekspresi bebas muncul, yaitu dalam bentuk keragaman bentuk dan penyampaian (bahan dan teknik), tidak secara khusus dalam konsep karya. Maka, andaikata tujuan pameran ini memang membebaskan ekspresi peserta, agaknya pameran ini telah memenuhi ‘syarat’ itu. Karya-karya dalam pameran ini terlihat beragam, tak nampak adanya fokus isu yang dengan serius digarap oleh masing-masing perupa.
Jogja Mendem
Keriuhan kota Jogja yang dikatakan sebagai kota seni-budaya bisa dirunut mulai dari berlangsungnya acara tahunan, Festival Kesenian Yogyakarta XXI, Juni 2009 yang mengangkat tema "Golong Gilig: Seni dan Budaya Berawal dari Keluarga," menyusul pesta besar 25 tahun ISI, Exposigns. Setelah itu, Biennale Jogja X, dan akan disusul dengan Biennale Anak I yang akan diadakan pertengahan Januari 2010. Melalui perhelatan besar yang berurutan semacam itu, ada kesan bahwa seniman Jogja sedang berpesta. Jogja mendem, mabuk karena kegairahan seniman untuk berkarya. Mereka seperti sedang “memuntahkan” apa-apa yang selama ini ada dalam benaknya. Ide, semangat berkarya, dan kreatifitas tumpah ruah. Ini terutama bisa dilihat dalam Pameran Besar Seni Visual Indonesia: Exposigns, pameran dalam rangka 25 tahun ISI yang diikuti sekitar 550 mahasiswa dan alumni ISI Yogyakarta, menghadirkan sekitar 600 karya dengan berbagai media. Sebenarnya pameran besar itu bertujuan merepresentasikan potensi mahasiswa dan alumni ISI Yogyakarta, namun sayangnya kurang terkurasi dan terorganisasi dengan baik. Walaupun demikian, perhelatan besar-besaran dalam rangka 25 tahun ISI tersebut tidak menjadi batu sandungan bagi berlangsungnya pesta seni-pesta seni lainnya. Yang sekarang sedang berlangsung adalah pesta seni dua tahunan, Biennale. Berbeda dengan Neo Nation, biennale ke-IX dua tahun lalu, kali ini biennale X dengan tema Jogja Jamming terkesan lebih ramai. Dan kenyataannya, memang begitu. Peserta dan pengunjung terlihat lebih antusias dan padat. Apalagi dengan hadirnya tempat pameran di outdoor (ruang publik kota) dan media karya yang makin beragam. Tak pelak lagi, pendatang yang sedang berlibur ke Jogja pun bisa ikut menikmati keramaian ini. Dengan mengangkat tema Jogja Jamming: Gerakan Arsip Seni Rupa Jogja, biennale Jogja X kali ini mengajak masyarakat untuk menyadari bahwa pengarsipan negeri ini lemah, dan tugas mereka untuk membangkitkannya kembali. Mereka diajak untuk memiliki kesadaran berarsip. Ajakan ini, walau tidak dirumuskan sekonkret biennale X, sebenarnya sudah nampak dari keberadaan pameran-pameran lain sebelum biennale, walau pendekatannya sangat berbeda dari biennale ini. Dan fokus pada arsip seni rupa ini, selanjutnya akan diangkat dalam Biennale Anak I: “Dokumenku.” Di sana mereka (anak-anak) dituntun untuk berkarya berdasar lingkungan sekitar. Maka arsip dalam hal ini memang ditujukan sebagai media penyadaran dan pendidikan sejak dini. Arsip: Upgrade Wacana Seni Rupa Kesadaran akan arsip ini sudah mulai menimpa medan seni rupa Indonesia beberapa tahun terakhir, mengikuti maraknya pasar seni rupa. Kalau arsip seni rupa dikaitkan dengan catatan dan dokumentasi mengenai kekaryaan seni rupa dan senimannya, sudah bermunculan cukup banyak buku mengenai seniman dan kekaryaannya, antara lain, The Sound of Silence and Colors of the Wind Between the Tip of a Cigarette and Fire of the Lighter (2008) mengenai hidup dan karya Ugo Untoro (1989-2006) yang ditulis Omi Intan Naomi, Legacy of Sagacity (2008) ditulis oleh Jim Supangkat mengenai kekaryaan Putu Sutawijaya, Basoeki Abdullah: Fakta dan Fiksi (2009), kumpulan tulisan yang dikoordinasi oleh Mikke Susanto, Amrus Natalsya dan Bumi Tarung (2008), Elegi Artistik, Tentang Nashar dan Lukisan-Lukisannya yang diedit oleh Agus Dermawan T (2009), Seni Rupa, Perubahan, dan Politik (2009) yang adalah kumpulan tulisan FX Harsono, Ruang Di Bawah Telinga (2009) oleh Afrizal Malna tentang Made Wianta, serta ada pula buku semacam mengarsipkan kekaryaan seni rupa perempuan di Indonesia, seperti Indonesian Women Artist – The Curtain Opens (2007) oleh Farah Wardani, Wulan Dirgantara, serta buku koleksi karya seni bertema Ibu dan Anak dari Eddy Katimansyah, dan yang sudah agak lama, Exploring Modern Indonesian Art: The Collection of Dr Oei Hong Djien (terbit Maret 2004) oleh Helena Spanjaard. Di samping itu, ada pula buku untuk kalangan terbatas yang memaparkan kolektor-kolektor berpengaruh indonesia, Odyssey: A Private Journey Through Indonesia’s Most Renowed Fine Art Collectors (terbitan Singapura, 2008). Ada juga penelitian Grace Samboh yang bekerjasama dengan Galeri Sika, Bali, dibukukan berjudul Mapping Contemporary Visual Art Spaces in Bali (Pemetaan Ruang Seni Rupa Kontemporer di Bali), 2008 mengenai galeri seni rupa kontemporer di bali, yang sayangnya, kurang eksploratif. Selain penerbitan buku-buku, beberapa pameran yang sudah mengangkat tema arsip ini seperti pameran tunggal Syahrizal Pahlevi, Seni Rupa Arsip, IMRSM 2003-2005 (Juli 2009), pameran tunggal FX Harsono, The Erased Time (2009) yang menampilkan dokumentasi hasil penelitiannya mengenai kaum Tionghoa di Blitar, Pameran Arsip Sanggar Bumi Tarung pada 2008, sampai pameran arsip IVAA yang sekarang diadakan di Gedung Bank Indonesia dalam rangkaian biennale X. Yang agak berbeda tampilan dan konsep walaupun masih sama, yaitu bertema arsip adalah pameran “Grafis Melawan Lupa: Pameran Media Kampanye Masyarakat Sipil Tentang Pelanggaran HAM Masa Lalu” yang diselenggarakan oleh Kontras, Elsam, ISSI (Institut Sejarah Sosial Indonesia), Grafis Sosial, dan DKJ (Dewan Kesenian Jakarta), Juli 2009 lalu. Beberapa pameran tersbebut mengangkat arsip sebagai bagian penting dari kegiatan berkesenian, dan karya seni, pada akhirnya adalah bagian dari arsip sejarah. Sepertinya mereka, baik seniman maupun penulis seni rupa, sudah mulai menyadari pentingnya penelitian dalam karya seni rupa, dan dokumentasi sejarah demikian adalah pendukungnya. Di balik kebutuhan seniman akan arsip, bisa dikatakan juga medan seni rupa kita seperti sedang berlomba-lomba meng-upgrade wacana seni rupa. Melalui dokumentasi atas karya, pembacaan atas karya, penulisan kembali, dan sebagainya, terlihat kesadaran akan pentingnya arsip seni rupa. Penelitian akan arsip ini juga sudah disadari berguna untuk memperkaya konsep atau ide dasar di balik sebuah karya seni. Setelah pasar, beberapa pihak di medan seni rupa kita agaknya sibuk meng-upgrade wacana, entah untuk menjelaskan fenomen pasar, entah untuk bereaksi terhadapnya. Apakah dengan tema arsip ini, seni rupa dan karya seni kita mau “ditingkatkan” agar bisa terlihat lebih “cerdas” sehingga praktik pasar seni rupa yang ramai itu mendapat legitimasinya? Dan biennale kali ini pun menghadirkan diskusi dan workshop demi kepentingan pengarsipan itu. Agak disayangkan bahwa ternyata dari tahun ke tahun, pembicara atau pihak yang dianggap kompeten ternyata hanya segelintir orang yang wajahnya dari tahun ke tahun selalu muncul untuk memberi kekuatan akademis dalam penyelenggaraan biennale. Arsip: Belajar Berkarya dari, di (dan untuk) Ruang Publik Tema biennale X kali ini menarik, terutama lewat kehadiran Public on the Move di mana sekitar 200 seniman bekerja sambil berusaha memahami seni rupa secara baru, mendamaikan antara “seni untuk seni’ dan “seni untuk masyarakat.” Seni di sini disadari keberadaannya menyatu dengan denyut kehidupan masyarakatnya. Seni dilahirkan dalam dan lewat masyarakat. Maka, dalam Public on the Move, seniman dan masyarakat bersama-sama berkarya, melahirkan sesuatu yang tidak dibuat-buat, melainkan hasil dari kegelisahan dan ritme hidup mereka di kota Jogja. Walau beberapa karya kadangkala nampak “ditempel,” diletakkan begitu saja di ruang publik kota, tapi dengan begitulah seniman memulai. Dan ini adalah sebuah permulaan yang baik untuk memahami keberadaan seni di ruang publik. Melalui Public on the Move, mereka mengeksplorasi mengenai cara berinteraksi dengan ruang sosial, yang tidak hanya terbatas pada masyarakatnya, melainkan denyut keseluruhan konteks kota. Dengan kata lain, pemahaman mengenai “interaksi” ini diperluas: tidak hanya melalui dialog dengan orang, melainkan juga dengan denyut kehidupan jalanan itu sendiri, misalnya, denyut keriuhan pasar Beringharjo, polusi dan kebisingan perempatan Gondomanan, Malioboro, Lempuyangan, dan sebagainya, yang masing-masing memiliki ciri khas: stasiun, pasar, perempatan, parkiran wisata, obyek wisata, situs sejarah yang hampir dilupakan, dan sebagainya. Hasilnya, mereka menciptakan patung atau instalasi yang diharapkan bisa merekam denyut kehidupan kota. Salah satu contoh, kotak minuman berlogo dan berwarna Coca-Cola yang tulisannya tidak lagi Coca-Cola, melainkan es dawet. Karya itu ditempatkan di perempatan lampu merah Gondomanan, melekat dan membungkus tiang lampu lalu lintas. Nampak bahwa karya dari komunitas Rumah Seni Jogja (RSJ) tersebut cukup bisa dinikmati oleh masyarakat yang sedang menunggu lampu berganti hijau. Demikianlah kotak es dawet raksasa itu hadir untuk menyapa dan mengajak pengguna jalan “berdialog” sejenak. Maka, di sini interaksi tidak sebatas berkomunikasi dan bercerita dengan tukang becak atau tukang stempel tentang kehidupan dan masalah keseharian mereka, melainkan harus bisa menangkap dan melakukan “pencatatatan” terhadap lalu lalang orang yang mampir ke tempat stempel, kesibukan pembuat stempel, percakapan para tukang becak di parkiran becak, dan semacamnya. Demikian juga akhirnya seniman akan mampu menangkap “suara-suara” di balik laju kendaraan, sliweran bus trans Jogja, keramaian Jathilan, keriuhan parkiran di alun-alun saat sekatenan, dan sebagainya. Dengan kata lain, atmosfer Jogja di sebuah tempat dan momen tertentu harus bisa ditangkap untuk menjadi nafas dalam berkarya di ruang publik dan untuk ruang publik. Tema biennale X kali ini, kalau mau dipahami melalui semangat Public on the Move, sebenarnya adalah ruang belajar memahami bagaimana berkarya dari, di (dan untuk) ruang publik. Arsip: Gerakan Belajar Mengarsip Mengamati temanya, esensi biennale kali ini adalah berdiam sejenak, refleksi sesaat mengenai kesejarahan seni rupa jogja. Apa yang sudah terjadi? Apa yang sudah dan sedang dilakukan para seniman sejak 1940-an? Refleksi ini menghasilkan lima kategori yang dikatakan para kurator adalah “semangat jaman.” Kategori tersebut sebenarnya harus dielaborasi lebih lanjut oleh para kurator karena agaknya pembacaannya tidak memadai untuk bisa dikaitkan dengan karya yang pada kenyataannya jauh lebih cair daripada lima hal yang sudah dibuat itu. Tidak bisa dipungkiri bahwa karya itu bisa terinspirasi dari gagasan kuratorial tersebut, namun juga tidak bisa dielakkan bahwa pembagian atau kategorisasi itu kurang memadai untuk menjelaskan karya itu. Menilik karya-karya yang sudah hadir, apakah nanti, dalam katalog post event, akan ada catatan lain dari para kurator, semacam pembongkaran dan pendalaman mengenai humanisme kerakyatan, humanisme universal, pendobrakan terhadap kemapanan estetika, pergolakan budaya lokal dan global, dan seni rupa urban? Itu mungkin salah satu cara bagaimana praktik kuratorial bisa dielaborasi lagi. Kalau itu bisa terjadi, maka arsip akan bisa dimaknai juga sebagai gerakan belajar mencatat bagi para kurator dan penulis seni rupa. Sejarah harus tidak dipahami sebagai sejarah yang monumental bagi seni rupa kita, melainkan kritis, selalu dibongkar dan dihasilkan kembali. Maka, semoga bukan hanya hiruk pikuk karena senimannya kreatif berkarya, kemunculan banyak karya eksperimental, peserta yang ikut bertambah, ramainya karya yang hadir di ruang publik, pengunjung yang meningkat jumlahnya, ataupun hiruk pikuk pasar yang berarti ada pembeli, melainkan satu hal yang harus ditambahkan, yaitu kemungkinan, keberanian dan kejujuran untuk menulis, mencatat kembali seni rupa Yogyakarta dengan perspektif dan semangat yang baru.
Tubuh Sebelum Tafsir
Ada tiga sosok dominan yang muncul berulang dalam video karya Filippo Sciascia: laki-laki dewasa dengan posisi menyamping, perempuan dewasa dengan posisi membelakangi penonton, dan seekor rusa yang shot dominannya diambil dari atas agak menyamping. Laki-laki itu sedang menuju ke sesuatu semacam bangunan rumah, rangka rumah yang di dalamnya ada lampu neon menyilaukan. Rusa itu berkelana dalam gelap, di sekitarnya ada ranting-ranting yang serupa tanduknya. Perempuan itu seperti sedang berusaha menembus dedaunan dan pepohonan, mencari-cari, meraba-raba jalan dengan sikap tangan seperti ingin menggapai sesuatu di depannya. Video itu memiliki dua layar yang keduanya diletakkan di pojok (siku) ruang sehingga kedua layarnya “bersambung” pada garis ruang. Pada masing-masing layar, secara bersamaan, muncul gambar berbeda dengan dengan tokoh, warna, dan latar belakang sama. Dengan warna dominan hitam-putih, keabuan, kehijauan, kadang kebiruan, editing nonlinear, dan lambatnya shot-shot itu, kesan misterius muncul dalam seluruh video berdurasi sekitar 3:35 menit itu. Video itu berjudul Lux Lumina (2010). Di sebelahnya, ada karya lain, Manifesto (2010). Manifesto dibentuk dengan media campuran, masing-masing semacam negatif-negatif film yang berisi beberapa gambar: organ mata, retina, gelombang cahaya, otak manusia, dan semacamnya. Keduanya memiliki nuansa sama, namun muatannya berbeda. Kalau Manifesto nampak seperti sebuah “studi ilmiah” tentang organ mata, Lux Lumina kebalikannya. Video itu terkesan mencoba berkomunikasi lebih intim, mengajak kita mengalami cahaya, merasakan cahaya: kita melihat melalui cahaya dan bersama dengan cahaya. Kalau bukan nyata, agaknya, rangka berbentuk rumah menyilaukan dalam Lux Lumina bisa dipersepsi mata sebagai implicated line (garis imajiner, kontur) yang dihasilkan dari perjumpaan antara wilayah berneon dan wilayah tanpa neon. Garis imajiner ini pula yang agaknya, hadir dalam dua instalasi ‘tenda dom’nya, Domus Completus (2010) dan Domus Incipit (2010). Dalam Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary (1966), Paul Ricoeur menegaskan “I sense myself alive before I know myself as animal.” Ungkapan itu bisa dijelaskan kira-kira demikian: sebelum rasio saya dapat menjelaskan hidup saya, saya sudah lebih dulu merasakannya. Tubuh ada sebelum tafsir. Dalam kaitannya dengan “cahaya,” bisa dikatakan juga, “Saya merasakan tubuh saya hidup dengan, dan bersama cahaya sebelum saya tahu bahwa saya memiliki organ penglihatan, mata, yang lewat retinanya, bisa menangkap gelombang cahaya dan mengatakan segala sesuatu tentang yang saya lihat.” Kata-kata itu agaknya yang bisa menjelaskan relasi antara Lux Lumina dan Manifesto, dua karya Sciascia yang hadir menemani, antara lain Lumen Unicus (2010), dan Lumen Praecipuus (2010), karya lukis yang masih menggunakan teknik khasnya, retak-retak dengan cat minyak dan gesso tebal. Lewat cahaya, pantulan, dan bayangan, pengalaman akan batas, ilusi, persepsi dan imajinasi ini yang mungkin bisa kita eksplorasi dalam karya kolaborasi Agus Suwage dan Filippo Sciascia di bawah tajuk besar pameran “Illuminance.” Pameran ini diselenggarakan oleh Langgeng Art Foundation, Yogyakarta, 29 Januari sampai dengan 11 Maret 2011, setelah sebelumnya di NUS Museum, Singapura. Eksplorasi atas tafsir, batas, dan faktisitas manusia ini diungkapkan dengan lebih “nekat” oleh Suwage. Selain patahan rangka-rangka grafit yang bertumpuk di sudut ruang, dengan lima gagak emas di atasnya, Circle of Hope (2010), ada lagi tengkorak raksasa yang lebih profokatif: An Offering to Ego (2007). Karya ini, karena pose menyampingnya, dan dalam katalog pameran difoto di pasir pantai berlatar laut, mengingatkan kita pada Collective Invention (1934), karya Magritte. Pada beberapa bagian rangka raksasa itu terdapat beberapa kata, seakan mempertanyakan kembali fungsi dan kekuatan kata untuk “menamai,” memberi cap, mengingat pikiran kita pun memiliki kekuatan asosiatif dan imajinatif. Beberapa kata merujuk pada bendanya, namun beberapa yang lain sama sekali tidak berkaitan dengan bendanya, antara lain “Dream” pada tengkorak kepala bagian atas agak ke depan, “Money power” dan “Politic” pada rangka bahu belakang, dan “Column” pada tulang belakang. “An offering” diletakkan di bagian paha yang separuhnya seperti terbenam. Mungkin, kita bisa bertanya lebih jauh, apa yang sedang ‘dirayakan’ di sana? Kematian kata? Kematian saya? Kematian “saya ‘ego’ yang adalah tafsir?” Atau gambaran “ego” yang sedang “bertransaksi” dengan keniscayaannya, eros dan thanatos? Selain ‘permainan’ teks dan image, penemuan efek sephia natural dari jus tembakau (tobacco juice) yang menemani efek transparan cat air pada Eros Kai Thanatos #2 (2010) menimbulkan sensasi tersendiri. Sekitar 40 buah kertas disusun berjajar. Masing-masing berisi rangka: tengkorak kepala, kaki, jari-jari tangan, rongga dada, panggul, dan sebagainya dengan beberapa posisi tampakan. Di sela-sela kertas berisi rangka itu hadirlah bunga teratai, frangipani, mawar, dan sebagainya yang seakan ‘menjadi bagian tak terpisahkan’ dengan tengkorak-tengkorak yang nampak bak artefak kematian itu. Efek warna, bau, dan kontur yang terbentuk hasil perjumpaan antara jus tembakau dengan kertas telah melahirkan depth, line, dan space khas Suwage, seperti juga retak-retak khas Filippo. Daya eksperimentasi keduanya agaknya berhasil menggeser kedudukan elemen-elemen seni rupa seperti cahaya, kedalaman (depth), garis (line), dan ruang (space) yang awalnya dirumuskan dengan sangat ketat-akademis, menjadi lebih “intim” dengan pengalaman. Elemen itu tak lagi sengaja dibentuk dan direncanakan, melainkan lahir dengan sendirinya, penuh ekspresi dan spontanitas. Maka, hasilnya, bukan tafsir atas ruang, melainkan pengalaman akan ruang: dalam-luar, juga pengalaman akan jarak: jauh-dekat, dan sebagainya. Dalam Eye and Mind (1964), Merleau-Ponty mengatakan “It is not enough to think in order to see.” Kata-kata ini ditujukan untuk ‘mematahkan argumen’ rasionalisme Descartes, dan ‘membela’ pengalaman inderawi (the sensible) yang pada masa pencerahan diletakkan di bawah ilmu pengetahuan dan pikiran. Maka, mengkritik Descartes yang menganggap bahwa rasio adalah satu-satunya “pusat” dari keberadaan manusia, dan tubuh hanya ‘perpanjangan’ dari pikiran, Ponty menekankan kesatuan dari pengalaman inderawi (tubuh, body) dan pikiran (rasio, mind) manusia. Karena itu, seni tak lagi bisa dikatakan sekadar perihal gagasan.
Monolog Kelahiran Figur Baja Putu
Sejumlah sosok tanpa wajah, terbuat dari baja dan kawat seperti sedang melakukan gerak-gerak akrobatik. Mereka seperti sedang terbawa keasyikannya masing-masing. Ada yang seperti menari, melompat, melayang, memanjat, melepaskan diri, merunduk, menghardik, bergantungan, berlari, dan sebagainya. Bak permain akrobat, masing-masing bergerak dengan sebagian tubuh bertumpu pada sesuatu, semacam bidang, palang, tiang, rantai, dan gulungan kawat. Itulah karya tiga dimensi Putu Sutawijaya (39). Seniman yang pernah memenangkan Lukisan Terbaik Philip Morris Art Award 1999 ini berpameran tunggal dengan tajuk Gesticulation, berlangsung di Sangkring Art Space, 20 Februari – 10 Maret 2010. Semua karyanya kali ini adalah karya tiga dimensi dengan fokus pada “gestur” (gerak tubuh). Putu mengolah, terutama, gerak-gerak ekspresif, spontan, dan tanpa nama dari tubuh. Gerak ini dihadirkannya lewat figur yang secara anatomis laki-laki, tak berwajah, tak bernama, dan berambut panjang lepas terurai yang arahnya tak selalu sama dengan geraknya. Ada yang menarik pada pameran kali ini, yaitu bahwa Putu menghadirkan sosok-sosok bajanya bersama dengan “yang bukan sosok manusia,” yaitu besi melintang, gulungan kawat dan besi, lempengan bergerigi, rantai, dan sebagainya – yang meski berbeda dan terpisah dengan sosok itu, namun keberadaannya nampak ‘menyatu’ dengan gerak si figur. Lempengan besi, gulungan kawat dan sebagainya itu (elemen “nonfigur”) nampaknya tak hanya berfungsi sebagai penyangga yang membuat figur nampak sebagai “patung.” Agaknya, elemen ini juga bukan asesori atau sekadar ‘tambatan,’ ‘bingkai,’ atau “tumpuan imajiner” bagi keberadaan figur atau sosok baja itu. Figur, atau gerak figur, meskipun tampak tak ada kaitannya dengan penampang yang menyentuhnya itu, namun “dilahirkan” juga dari penampang itu. Pendek kata, Putu, agaknya, “mengunci” figur pada “penampang,” tumpuannya itu untuk memperkuat karakter gerak figur. Lihat, misalnya Gesticulation #7, figur tampak condong ke depan, dengan dada membusung, dua tangannya seperti sedang menepis penyangganya (besi setengah lingkaran, ujung tak beraturan, bak bulan sabit). Ia seperti “lahir kembali,” geraknya dilahirkan dari sikap “menidak,” atau “mengelak” penyangganya. Hal ini juga nampak dalam Gesticulation #6. Figur seperti sedang berlari keluar dari lubang. Ia belum sepenuhnya keluar, sebagian kakinya yang dalam posisi bak sedang berlari keluar, masih tertinggal. Tangan kirinya seperti ‘menepis’ lempeng berlubang itu, sedang tangan kanannya setengah terbuka, di telapaknya ada setangkai bunga. Sang makhluk tak berwajah sedang mengarahkan pandangannya ke bunga itu. Agaknya, di sini, figur butuh “yang lain” (‘nonfigur’) yang bisa diimajinasikan, atau “diilusikan” sebagai “penahan,” “tumpuan imajiner” agar kebebasan ekspresi gerak itu bisa dialami. Pendek kata, pengalaman atas kebebasan mau tak mau diikuti oleh pengalaman atas ketidakbebasan. Dan penyangga, mungkin, sebuah “sarana,” atau “titik pijak” yang berfungsi sebagai “penahan” sekaligus “pendorong” kelahiran gerak bebas figur. Paradoks ini, mungkin, lahir dari pengalaman Putu, yang diungkap oleh Karim Raslan, sebagai tegangan antara “kebebasan personal dan identitas komunal.” Karakter gerak bebas figur agaknya muncul saat figur tak terikat lagi pada penampang. Dengan kata lain, mereka (figur) memang terikat pada penampang, namun pada saat yang bersamaan mereka pun berhasil menjadikan penampang itu tak lagi penghambat, melainkan “alat bermain.” Kondisi ini bisa dilihat pada, salah satunya, Gesticulation #1. Di sana figur tampak dengan santainya menjadikan “penampang” itu medium untuk “berpose.” Nampak di sana ada “komunikasi” antara sosok baja dengan penampangnya, bukan dengan sesama figur. Karena itu, figur-figur Putu tampak seperti sedang bermonolog. Mereka hadir bersama, namun sendiri. Mereka nampak seperti sedang bermain – bukan dengan sosok lain yang ada bersamanya, melainkan dengan dirinya sendiri. Gesticulation #15, misalnya, dua figur dengan pose berbeda terlihat sedang bermain menarik gulungan kawat, seorang di satu sudut, seorang lagi di sudut yang lain. Dengan gerak berbeda, masing-masing seperti sedang menikmati “ritme” hidupnya sendiri. Mereka bersama dalam kediaman dan kesendiriannya masing-masing.
Gerilya di Atas Kanvas Stefan
Senapan laras panjang, topi baja, sepatu tentara, pisau lipat, barikade, macan, singa, paku, steples, lempengan besi berkarat, hadir di depan kita. Mereka semua adalah gambar yang membangkitkan ingatan kita akan era Orde Baru yang sarat demonstrasi berbagai kelompok, kekerasan, pemerkosaan, pembunuhan, penculikan, dan berbagai aksi kekerasan lain yang cenderung dilakukan oleh pihak yang memiliki otoritas pada pihak yang tanpa otoritas. Benda-benda itulah yang menjadi obyek utama di kanvas Stefan Buana (40) dalam pameran tunggalnya, Mental Gerilya, 16 Maret – 18 April 2010 di Tembi Contemporary, Jl Parangtritis km 8,5 Yogyakarta. Zaman Orde Baru yang sarat isu militerisme, birokratisasi, dan reformasi itu nampaknya lekat dalam diri Stefan, yang notabene adalah anak tentara. Oleh Stefan, realitas politik Orba itu juga dikaitkan dengan perjuangan pra kemerdekaan dan masa sekarang. Maka, ada Negeri Orang-Orang Bermental Gerilya (2010). Di sana tergambar wajah-wajah garis hitam yang tercipta dari gun tack. Di sana, tepian garis yang tercipta dari gun-tack itu nampak ‘luber’ sehingga ada efek garis bergerigi, kasar, seperti goresan-goresan luka, atau jahitan luka. Demikian juga wajah-wajah dengan karakter berbeda, seperti menggambarkan keberagaman profesi, suku bangsa, agama, warna kulit, dan sebagainya – agaknya, walau bukan tema baru, namun penyampaian melalui gaya “karikatural-naif” bak lukisan anak-anak itu, pengolahan medium dan warna pada karya ini, cukup menarik. Ada juga Militan (2010). Gambar wajah dengan kerut di dahi, masih dengan gun-tack, wajah itu simpel, monokrom, cenderung abu-abu. Di sebelah wajah itu ada senapan. Bak foto seorang pejuang yang sudah ‘menampung’ penat kehidupan, Stefan, lewat wajah itu, agaknya ingin menampilkan apa yang dinamakannya ‘heroisme,’ dan apa yang disebutnya sebagai “mental gerilya” itu. Militan seakan mengajak kita untuk peka terhadap ‘dialektika’ kehidupan yang terjadi dalam masyarakat. Obyek hewan, agaknya juga menjadi inspirasi dan karakter karya Stefan. Kengerian, kekerasan, teror, hasrat survival, dan kekuatan masyarakat untuk bertahan hidup ini disimbolkan juga dengan macan, singa dan kuda. Maka, ada wajah macan dengan tembakan merah yang ‘menimpa’ tekstur semacam lipatan kain (Kamuflase Sang Penguasa), sehingga wajah macan tampak bervolume karena terbangun di atas tekstur semu pada lapisan sebelum gambar macan itu. Ada juga Saatnya Menggambar Macan dan Singa (2010). Teknik dan medium agaknya menjadi salah satu kekuatan Stefan. Ia tak melukis seperti biasanya dengan akrilik atau cat minyak di atas kanvas. Stefan seakan ‘menyapu’ kanvasnya dengan apa saja demi mengungkapkan idenya. Agaknya, medium semacam paku, arang, serbuk kayu, steples, besi berkarat, benang, dan sebagainya itu yang dibiarkannya berbicara mengenai kekerasan, bahkan, mungkin lebih profokatif daripada obyek yang digambarkan. Teknik Stefan pun beragam, dari menggambar, sampai merobek, memaku dan melubangi kanvas. Lihat, Antara Karawang dan Bekasi (2010) yang berisi sekumpulan paku tak beraturan di hamparan steples, juga New War Area (2010), gambar lapangan sepakbola yang seluruh permukaan rumputnya terbentuk dari paku (tekstur nyata). Lapangan itu seakan menjadi sebuah simbol “pertandingan” hidup dan mati, sebuah perjuangan yang identik dengan luka dan darah. Maka, bagi Stefan, dan mungkin bagi kita semua, tema ini masih relevan, dan akan selalu relevan, terlebih bila dikaitkan dengan kondisi sekarang, melambungnya harga, juga kekerasan misterius yang baru-baru ini terjadi, yaitu kiriman paket buku berisi bom di hari yang sama pada aktivis JIL Ulil Abshar Abdalla di Utan Kayu, 68H, Kepala Pelaksana Harian BNN Komjen Pol Gorries Mere di Kantor Badan Narkotika Nasional, dan rumah Yapto S, ketua umum Pemuda Pancasila. Di sini, “Mental Gerilya” nampaknya, telah menjadi idiom bagi Stefan untuk berbicara tentang nilai-nilai perjuangan yang tak hanya terbatas pada perjuangan kemerdekaan atau reformasi politik, dan kepahlawanan tak hanya bernuansa perjuangan fisik. Kini, “gerilya,” di tangan Stefan mungkin bisa menjadi teropong kita untuk lebih peka terhadap perjuangan masyarakat untuk bertahan hidup.
Eksekusi "Identitas" Abstrak Jopajapu
“Sampai sekarang saya masih tetap berpegang teguh pada konsep ‘Tiga Non’ yang sering diuraikan secara keliru oleh pengamat seni lukis.” Di atas tulisan tangan itu ada simbol, semacam “tanda tangan” khas yang selalu hadir dalam lukisan Nashar. Dan di sebelah tulisan itu, ada wajah Nashar. Itulah Tiga Non (2010), salah satu karya Ida Bagus Punia, anggota Jopajapu yang agaknya ingin membicarakan kembali seni lukis Indonesia lewat karya. Di kanvas lain, tulisan dengan cat merah, “Tidak Ada Seni di Indonesia” tanpa obyek lain. Ida Bagus Punia mungkin paling profokatif dalam pameran ini. Dengan gamblang ia memadukan kata-kata dan gambar seperti mengajak kita berefleksi: di tengah carut marutnya ulasan seni rupa oleh pengamat seni yang berkecenderungan menuruti selera pasar, mungkin akan muncul pertanyaan mendasar, apakah seni itu? dan apakah ia (seni) masih bisa diselamatkan? Ada pula, Lubang (2010), yang nampak realis, sebuah gunung yang puncaknya ditutup oleh lingkaran kosong. Melihat bentuk, tekstur gunung, dan patahan serupa jurang menganga di sisi kanannya, nampak bahwa gunung itu adalah Merapi. Dan lubang (lingkaran kosong) di puncaknya membawa kita pada misteri lain. Lubang di Merapi. Itu salah satu karya Alfairus yang tampak realis. Pada karya lainnya, dan hampir di semua karya Alfairus, terlihat kecenderungan kuat pada abstrak. Dengan nuansa yang sangat berbeda dari Lubang, karya lainnya tak memiliki obyek khusus yang bisa dikenali. Bunga di Taman 2 (2010), misalnya. Tak ada bunga, tak ada rumput, tak ada tanah di sana. Kalau tak ada judulnya, kita tak akan tahu isi lukisan itu. Di sana hanya ada gurat-gurat kasar, benjolan-benjolan, garis-garis tak beraturan, sapuan kuas warna hitam, bercak warna merah, biru kehitaman, dan semacamnya. Agaknya, tekstur nyata, warna, dan garis-garis itulah kekhasan Alfairus. Karya lain, The Pieta (2010). Sosok bak berkostum ninja sedang dipangku oleh sosok lain yang kepalanya terbentuk dari sapuan hitam kuas. Di kiri bidang gambar, ada tulisan “St. F. Nietzsche,” dan di sebelah kanan “Meriem.” Tampakan keduanya seperti lukisan Mesir, bagian depan seluruhnya menghadap langsung ke kita, walau seharusnya tampakan itu agak menyamping. Sosok-sosok itu seperti tanpa volume – mengambang di seluruh bidang gambar. Itulah karya FX. Nanang. Dengan sangat minim warna, cenderung monokrom, Nanang menggambar sosok-sosok yang mungkin mengingatkan kita pada sosok yang digambar Ugo: Sosok-sosok dua dimensi yang nampak ‘dikaburkan’ dengan coretan-coretan, dibentuk dari sapuan kuas, satu warna, dan garis kontur yang jelas (outline). Agaknya, salah satu ciri dalam lukisan Nanang adalah garis linear persegi, kotak-kotak –bak “kandang kawat,” “saringan,” seperti berfungsi sebagai ‘penyangga’ figur (antara lain pada Good Bye Fool, Free Sex, The Pieta) atau ‘struktur’ semu yang mencipta ruang dalam bidang gambar (Pendatang, Human Diary, 10:10). Yang nampak berbeda gaya adalah karya Didik. Tak ada garis-garis tanpa arah, tekstur nyata, sapuan kuas tak beraturan, dan bidang yang penuh. Didik lebih khusus mengeksplorasi bentuk, warna, komposisi. Maka, karya-karyanya terkesan lebih bersih, cermat, dan terukur. Dua Dunia (2010) seperti memperlihatkan ritme dari bentuk-bentuk organis – bentuk-bentuk yang tak kita kenali, terjalin dan bergerak bersama. Demikianlah pameran bersama kelompok JOPAJAPU (terbentuk 2009), yang terdiri dari FX Nanang, Alfairus Hazbi, Didik Widiyanto, dan Ida Bagus Punia, mahasiswa ISI Yogyakarta angkatan 1998. Kali ini mereka mengangkat tema “Identitas.” Agaknya, bukan perihal tema yang patut diapresiasi, melainkan cara mereka mengeksekusi “identitas” itu sendiri sebagai sesuatu yang selama ini dianggap mapan. Pameran di Bentara Budaya Yogyakarta ini berlangsung 15-22 Maret 2011. Agaknya, kecenderungan mereka hampir sama, abstrak yang berada di tegangan ekspresionis dan figuratif. Di sini, Kalau kita bandingkan dengan era maraknya abstrak di indoneisa 1950-1960an yang nampak formalis: bentuk-bentuk yang tertata, susunan geometris, warna, dan sebagainya seperti yang dilakukan, misalnya Fadjar Sidik, atau Ahmad Sadali – JOPAJAPU lebih menekankan pada efek yang dihasilkan dari “kecelakaan-kecelakaan kecil,” sebuah spontanitas ekspresi (sapuan kuas, garis-garis tak beraturan, tekstur, cipratan cat).
Dikte Foto Pada Cat Air dan Kertas
Sekitar 20 karya lukis cat air Mimi Fadmi (Bandung, 1979) yang kesemuanya seragam, bergambar bangunan – terpajang di ruang pamer Kedai Kebun Forum, 19 Februari – 12 Maret 2011. Di bawah setiap karya, diberi keterangan lokasi, pengambilan foto yang merupakan sumber gambar, dan sedikit paparan mengenai lokasi tersebut. Sekilas, lukisan Mimi nampak sebagai sebuah dokumentasi. Mungkin karena itu pameran ini diberi judul “The Long Road.” Sebuah catatan perjalanan Mimi seakan disuguhkan kembali dalam lukisan-lukisan itu, khususnya rekaman mengenai bangunan, sudut perkampungan, persimpangan, dan tepi jalan. Maka, tampak di sana pom bensin megah dengan segala kebaruan desainnya – agaknya memang pom bensin jaman sekarang. Di bagian lain ada sebuah ruang kelas kenangan sekolah ayahnya dulu, sebuah bangunan bergaya Belanda (School #1), lalu ada sebuah pojokan jalan di Rosa Luxemburg Platz (Rosa Luxemburg Platz, 2011), di mana terekam langit berawan di kaca mobil-mobil yang seakan sedang antre di sana, sisi samping bangunan bertingkat (Four Star Hotel), kolong jembatan, pancuran dan tempat mandi umum, dan sebagainya yang diambil dari berbagai lokasi, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Dominasi abu-abu dalam semua karyanya, walau beberapa di antaranya ada merah dan biru dengan nuansa yang juga gelap membuat lukisan itu tampak seperti foto hitam putih. Dengan warna itu, seakan Mimi ingin mengungkap kenangan, rekaman masa lalu, Sekilas, semuanya tampak seperti foto: rapi, tertata. Agaknya, Mimi memang menyalin seluruhnya dari foto-foto, baik yang diambil oleh dirinya, suaminya, ayahnya, dan adiknya. Dalam pameran cat air di atas kertas, seniman asal STSI Bandung yang mulanya bergelut dalam dunia performance art ini agaknya tak banyak mengolah, memainkan efek transparan – yang menjadi salah satu kekuatan dari cat air terbukti dari kesan garis, warna, dan bentuk yang tampak sangat rapi dan terkontrol dalam semua karyanya. Salah satu karya yang dipamerkan, School #1 - digambar dari sebuah foto kuno yang sudah menguning, berkisah mengenai sebuah kelas tempat berpuluh tahun lalu ayah Mimi mengenyam pendidikan. Karya itu, seperti juga karya lainnya, memiliki kekuatan yang sayangnya tak berhasil dimunculkan. Pendek kata, kekuatan “kekunoan” masa lalu dari kelas sekolah itu – dan mungkin efek ini sebenarnya bisa dicapai dengan teknik cat air dan medium kertas yang digunakan Mimi – tak hadir, sehingga gedung itu masih tampak seperti bangunan-banguann lain dalam seluruh lukisannya. Hal lain yang agaknya belum banyak diolah adalah sudut pandang lukisan, yang notabene berbeda dengan sudut pandang pengambilan foto. Angle lukisan – demi menampilkan kekuatan kesan, efek – agaknya, memang mau tak mau harus berbeda dengan kamera. Menilik karya Mimi, nampaknya tak banyak angle – dan semuanya, bisa dikatakan sama dengan angle pengambilan foto. Perspektif dalam lukisan Mimi bisa dikatakan sama dengan angle foto yang dirujuknya. “Dalam The Long Road, hadir ruang-ruang yang sepaham dengan pemikiran saya, yang membuat nyaman, hadir pula tempat-tempat yang bertentangan dengan diri yang membuat saya terganggu.” Agaknya, dalam karya Mimi, perbedaan ‘mengganggu’ dan ‘nyaman’ itu belum hadir, dan kita semua akan menunggu Mimi untuk melahirkannya. Semoga.
Dialog Imajiner Mata dan Tangan
Hampir semua karya bernuansa bidang-bidang persegi, garis, dan warna. Ada kertas yang diremas, kain yang tampak kusut dengan beberapa sobekan, kain lapuk, sisa-sisa benang jahitan, kawat, sampai lempeng logam patah-patah dengan beragam corak dan sifat mengisi bidang kanvas atau papan. Semuanya tampak berada pada kanvas atau papan yang tergantung di dinding ruang pamer Tembi Contemporary, Yogyakarta, 14 Februari – 14 Maret 2011. Namun, jangan salah lihat. Kain itu bukan kain sesungguhnya, dan kertas itu pun tak ada. Semuanya hanya tekstur. Perwajahan dari benda-benda itulah yang membuat kita berilusi bahwa itu benda sesungguhnya. Itulah sejumlah karya Anggar Prasetyo (Cilacap, 1973) yang diberi judul sesuai esai pengantar pameran, Texture Structure. Texture Structure adalah judul pameran diambil dari esai pengantar pameran yang ditulis oleh Hardiman. Penulisan ini mengacu pada kata-kata Anggar sendiri, “Bagi saya, persoalan seni rupa adalah persoalan elemen seni rupa itu sendiri. Karenanya, mengolah elemen visual adalah cara untuk menekankan bahwa seni rupa itu untuk mata.” Dan kalau itu bisa dikatakan pilihan berkesenian Anggar, maka pilihan itu agaknya jatuh pada tekstur. Maka, dalam pameran tunggalnya yang keempat ini tampak bahwa ia mengeksplorasi khusus mengenai cara menghadirkan ilusi optis dalam karyanya: mata menangkap ruang tiga dimensi yang dihasilkan dari tekstur, namun ketika diraba, sebagian karya nampak biasa saja, datar. Itulah olahan tekstur semu Anggar, yang juga dihadirkannya secara bersamaan dengan tekstur nyatanya, salah satunya Drapery Texture XVIII (2011), akrilik berwarna putih bergelombang dengan beberapa lubang di permukaanya, dilekatkan di atas papan. Tak hanya tekstur, Anggar juga mengolah komposisi: garis, bidang dan warna. Line Colour Composition VIII (2010), misalnya, bidang kuning yang bagian atasnya dibagi-bagi oleh garis-garis terbuat dari kawat (tekstur nyata), perpotongan vertikal-horizontal, dan di ruang yang tercipta dari perpotongan garis itu ada lingkaran, segitiga, setengah lingkaran, dan setengah segitiga. Lihat juga dalam Horizontal Line V (2010) yang mengolah garis (tebal-tipis) sebagai pembentuk tekstur (garis yang nampak ‘sengaja’ dikonstruksi sebagai struktur pembentuk tekstur), dan garis menyilang tampak membelah bidang. Menyoal mengenai figur, atau obyek pada karya Anggar, maka garis, bidang persegi, benang-benang lepas, sobekan-sobekan, atau sepotong sabit mungil pada Horizontal Line V itu bisa dikatakan dengan sendirinya muncul, lahir sebagai figur ‘baru’ dalam lukisannya. Dalam esai pengantar pameran, Hardiman menyebutkan bahwa Anggar memiliki kecenderungan formalisme, yaitu memperhatikan bentuk (form) daripada isi (content). “Seni rupa untuk mata,” tegas Anggar. Kecenderungan seni lukis abstrak formalis, seperti pendisiplinan elemen, konstruksi yang cermat, dan bentuk yang minimalis sehingga menghasilkan “purely optical space,” inilah mungkin ‘jalan’ yang ditempuhnya. Karena itu, karyanya seringkali terkesan kaku, kering, datar, ketat. Namun, ia mengingatkan kita pada bentuk abstrak geometris, misalnya pada “dinamika keruangan” Fadjar Sidik dan “de stijl” (The Style) Piet Mondrian. Kendati pun keduanya tidak secara khusus mengolah tekstur, atau tidak sama sekali, dan pengolahan bidang serta warnanya pun berbeda dengan Anggar, penyederhanaan, pemecahan bentuk menjadi elemen-elemen primer yang menyusunnya: garis (dengan kecenderungan arah vertikal dan horizontal), warna (kecenderungan pada warna-warna primer), dan bidang yang dibentuk oleh perpotongan garis bisa dibandingkan dengan ideologi estetik Anggar. Karya mereka bertiga ini nampak bergerak menuju minimalisme, nonrepresentasional - terutama dalam karya-karya komposisi garis dan warnanya. Tekstur (pada karakteristik permukaan, sifat perwajahan: halus, kasar, bergelombang, bergerigi, berlubang, dan sebagainya) dan struktur (susunan, konstruksi, bangunan) dalam karya Anggar menjadi dua hal tak terpisahkan: tekstur sebagai struktur. Keduanya saling membentuk. Salah satu yang nampak kaya dalam hal warna, tekstur, komposisi adalah Texture Composition (2010). Dua belas bidang kanvas disusun berdampingan membentuk bujursangkar. Setiap bidang memiliki permukaan, perwajahan dan warna yang khas. Tampak di sini pengolahan aspek gradasi dan kontras memegang peran penting. Pengolahan pada tekstur dan struktur nampaknya membawa Anggar pada persoalan pokok lukisan abstrak: tegangan antara yang optikal (visual, mata), dan taktikal (peraba, tangan). Agaknya, lukisan abstrak mengajak kita menyadari sensasi yang hadir lewat ‘dialog imajiner’ antara tangan (taktikal) dan mata (optikal) itu. Maka, mungkin pameran ini bukan terobosan, tapi kehadiran karya-karya Anggar ini bisa mengajak kita mengolah pengalaman “sense of touch.” Garis yang terbentuk dari lipatan, cerukan, roncetan, perjumpaan gelap-terang, dan sebagainya itu seperti mengundang “mata” kita untuk berdialog.
Menjumpai "Yang Estetis" Lewat Desain Elementer
"Art begins not with flesh but with the house. That is why architecture is the first of the arts.” – Gilles Deleuze – Deleuze dan Guattari, dalam salah satu artikelnya, Percept, Affect and Concept, mendeskripsikan bahwa seni dimulai dari kegiatan manusia membangun teritori, wilayah, “habitat” bagi dirinya. Seni tidak mulai dengan body painting, body art, melainkan rumah, dalam artian bangunan, konstruksi, usaha untuk mencipta batas-batas, memberi “dinding,” membedakan yang di dalam (inside) dan yang di luar (outside). Pembedaan ini mengandung dua pemahaman, yaitu spasial (indoor – outdoor) dalam konteks bangunan (fisik, material), dan sensibilitas (perasaan berada di dalam sesuatu, dan di luar sesuatu itu), juga perasaan untuk membuat “yang asing” itu personal, “menjadi miliknya.” Hasrat untuk mencipta itu adalah seni, di mana, menurut Deleuze dan Guattari, bisa dianalogikan dengan hewan yang membangun teritori, “territory-house,” habitatnya sendiri. Dengan kata lain, seni tidak dipahami dengan bukti adanya ruang nyata itu sendiri (rumah, dinding, bangunan-bangunan lain), melainkan perihal kemunculan, kelahiran sensibilitas manusia terhadap ruang – ekspresi mereka untuk “meruang.” Seni muncul dalam bentuk kreatifitas manusia dalam menciptakan ruang dalam dunia (bumi) ini. Maka, dalam hal ini, teritori bisa mengimplikasikan kemunculan “pure sensory qualities,”[1] semacam perasaan, kepekaan khusus untuk membuat sesuatu yang tidak hanya sebatas fungsional, melainkan juga ekspresif. “This emergence of pure sensory qualities is already art … It is an outpouring of feature, colours, sounds that are inseparable insofar as they become expressive …”[2] Di sanalah kekuatan berpikir dan merasa dalam diri manusia diangkat menjadi suatu kekuatan untuk mencipta. Lewat hasrat untuk “mencipta ruang,” dan “meruang” itulah ekspresi manusia lahir. Dan ekspresi ini dinyatakan melalui ekperimen mereka untuk mengadakan ruang itu. Dengan kata lain, kekuatan mencipta sebenarnya adalah kekuatan dasar manusia untuk membentuk dan mengubah dirinya (self-forming power). Proses meruang, mencipta ruang, teritori bisa dikatakan sebagai proses “membingkai diri.” Bingkai, batas-batas, struktur, “pagar” (frame) ini bisa dipahami sebagai hasil komposisi manusia ketika membentuk “teritori:” – hasrat manusia untuk “memagari” sesuatu, menjadikan sesuatu itu personal (dekat, akrab). Lewat pemahaman mengenai frame, arsitektur bisa dipahami sebagai kekuatan manusia untuk mengubah diri melalui pembentukan teritori. Kekuatan ini (dalam rangka menciptakan frame) muncul melalui elemen dasar (yang sudah ada dalam alam), yaitu titik, garis, bidang, bentuk, warna, tekstur, dan ruang, yang dalam hal ini, disebut sebagai elemen dasar desain visual. Elemen-elemen ini adalah tata bahasa, semacam rumus, alat, “senjata” bagi para desainer untuk mencipta. Titik, garis, bidang, dan gempal adalah elemen dasar dari seni rupa. Istilah tata rupa ini sering disejajarkan dengan nirmana. Sadjiman Ebdi Sanyoto, dalam Dasar-Dasar Tata Rupa dan Desain (2005), mendefinisikan nirmana sebagai “Pengorganisasian atau penyusunan elemen-elemen visual seperti titik, garis, warna, ruang dan tekstur menjadi satu kesatuan yang harmonis.”[3] Dalam desain visual, elemen tersebut dikembangkan lagi menjadi beberapa hal, misalnya tekstur, warna, bentuk, bidang negatif, bidang positif, volume, ruang, dan sebagainya. Desain grafis, desain komunikasi visual, dan arsitektur masing-masing memiliki elemen lain yang sudah dikembangkan dari elemen dasar tersebut. Selanjutnya, Sanyoto menjelaskan bahwa nirmana adalah hasil angan-angan dalam bentuk dwimatra dan trimatra. Nirmana, dalam desain, yang dipahami juga sebagai sesuatu yang tidak berbentuk (nir: tidak, mana: bentuk), tidak memiliki bentuk yang dapat didefinisikan, non-representasional, tidak imitatif, memiliki kekuatan, salah satunya pada gerak, ritme. Gerak ini dapat dibangun melalui komposisi elemen-elemen dasarnya (garis, titik, bentuk, warna, tekstur, dan sebagainya). Di sini nirmana sebagai suatu bentuk yang tidak berbentuk (bentuk imajiner, tidak nyata), berhasil dipersonalisasi, diberi makna. Pendeknya, lewat ketidakbermaknaannya, bentuk dan ruang imajiner itu sendiri akhirnya menyatakan dirinya sehingga bisa “dimaknai.” Dalam dunia arsitektur, pemaknaan ini seringkali hanya didasarkan pada fungsi. Ruang Imajiner dan Gerak Beberapa karya dalam pameran ini memperlihatkan kemunculan ritme gerak yang merupakan salah satu hal pembentuk persepsi tentang ruang imajiner (maya). Ritme ini bisa dilihat dalam beberapa karya dengan menggunakan beberapa cara, misalnya, lewat perulangan bentuk. Hal ini tampak dalam image c(2) (kategori segitiga yang membentuk ruang fantasi) yang menampilkan bentuk dasar segitiga. Melalui eksplorasi bentuk segitiga, dengan kecenderungan orientasi horizontal, pengulangan bentuk (gerak, ritme) dicapai melalui bentuk yang sama, tersebar dengan posisi berbeda, tidak merata, namun ada garis imajiner yang membuatnya tampak sebagai satu kesatuan. Agaknya, masing-masing segitiga berdiri sendiri (independen) dengan karakternya masing-masing, sekaligus terkait. Ruang imajiner didapat melalui gerak di antara segitiga-segitiga tersebut dan garis imajinernya. Kedua, interaksi antar warna pun bisa membentuk ruang imajiner. Hal ini tampak, misalnya dalam The Birth of Secondary Colours 2. Sekilas, karya ini cenderung mencipta kontras warna daripada gradasi. Ungu dipasangkan dengan kuning, dan letaknya berseberangan dengan biru-merah. Biru dengan orange, merah dengan hijau. Efek gerak dicapai lewat posisi yang nyaris diagonal, dan tekstur, pola yang dibentuk dari garis lengkung. Ruang maya di sini tercipta tidak hanya berupa rongga kecil, tekstur-tekstur yang secara fisik muncul karena sudut-sudut yang dibentuknya, melainkan lewat efek gerak garis-garis lengkung dari bahan dasar (material sendok es krim) itu. Perjumpaan mereka, susunan, dan posisinya berperan penting dalam membentuk efek gerak itu. Demikian pula dengan image b(20).[4] Titik-titik, bulatan-bulatan berwarna merah, hitam, dan putih, membangun bentuk imajiner yang terkesan non-geometris. Kendati pun nampak monoton, karya ini mencapai gerak lewat interaksi antar warna: merah, hitam, putih, yang melalui titik-titik tak beraturan itu, menyebar, saling memasuki satu sama lain, membentuk satu kesatuan, mencapai volume yang terkesan padat. Ada pula gerak yang terlihat lewat perulangan elemen garis. Misalnya pada karya 29042010101 (kategori garis lurus yang membentuk ruang fantasi), menampilkan gerak (ritme) lewat pengulangan elemen garis, tinggi-rendah saling bergantian, dan melalui kecenderungan arah, horizontal-vertikal, berpasangan dengan elemen yang cenderung ke atas. Barisan atau susunan garis-garis itu membentuk lipatan, lengkungan, rongga yang tanpa tutup. Walau kurang variatif, namun lipatan-lipatan ini berpotensi untuk diolah lebih lanjut. Efek gerak pun dapat dicapai lewat tekstur. Misalnya, karya Bayu yang berupa batu disusun. Penggunaan elemen batu, tekstur alami dari batu-batuan, penyusunan dengan sedikit sudut kemiringan, membuat batu itu seakan-akan berusaha berdiri, dan agaknya, gerak yang dihasilkan lewat tekstur kasar alami itu berbaur dengan kerapuhannya, keterpelesetannya ketika disusun. Ruang maya dalam karya yang sederhana, minimalis ini muncul lewat tegangan yang terjadi antar batu, tekstur dan interaksi mereka. Dan tegangan antara kekerasan, kekasaran tekstur dengan susunannya menimbulkan kesan kokoh tapi dinamis. Keindahan dalam Desain Pameran yang menampilkan karya-karya hasil olahan desain elementer ini menggunakan material benda-benda alam, tumbuhan, biji-bijian, dan beberapa benda keseharian, seperti kelereng, kawat, kabel, seng, kayu, batang korek api, uang logam, dan sebagainya untuk membentuk ruang yang non-representasional. Penciptaan bentuk imajiner dimulai ketika dengan benda-benda yang ada di alam, yang notabene memiliki bentuk khas, dapat dibentuk sesuatu yang lain yang tak ada (prinsip dasar nirmana, yaitu mencipta bentuk imajiner), entah itu bentuk-bentuk yang nampak organis, maupun yang nampak geometris. Melalui pengolahan atas elemen-elemen dasar visual, karya-karya ini muncul dalam beragam bentuk. Namun, ada beberapa kecenderungan besar yang terlihat di sini. Pertama, karya-karya cenderung memiliki orientasi vertikal dibanding dengan horisontal atau diagonal. Dengan arah vertikalnya, dan bentuk-bentuk dominan geometris, kesan tertutup, angkuh, dan megah menjadi dominan. Dalam arsitektur kota-kota besar sekarang, terutama Jakarta, implikasi dari bentuk-bentuk tertutup dan arah vertikal ini menampakkan kesan kurangnya komunikasi, baik dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungan sekitarnya. Kedua, sebagian besar karya masih terfokus pada teknik, misalnya perihal susunan elemen, prinsip keseimbangan, aturan pewarnaan, dan sebagainya, sehingga karya-karya terkesan “formalis.” Untuk desain elementer, prinsip-prinsip visual ini penting diterapkan. Dan di sini, mereka terlihat bereksperimen dalam menerapkan itu, walau seringkali terkesan tidak variatif, namun usaha untuk “setia” pada standar elementer desain ini patut mendapat perhatian. Kendati pun keberadaan variasi seringkali terkesan artifisial dengan beberapa penambahan, misalnya saja pada d(6). Image d(6), yang termasuk dalam kategori kombinasi garis lurus, lengkung, dan putus-putus, adalah salah satu contoh image yang bervariasi, baik dalam hal warna, bidang, garis, bentuk-bentuk (ada bentuk segitiga, kubus, persegi, bulatan, dan sebagainya). Variasi ini tampak menemui kebuntuannya tepat di titik ia makin bervariasi, makin variatif. Lihat pada, misalnya, ground (landasan) segitiga yang ada dalam karya itu. Landasan itu tampaknya kurang menyatu dengan bentuk di atasnya. Segitiga yang mungkin awalnya diajukan sebagai floor (lantai), selanjutnya malah menghilangkan efek ‘landasan’ itu sendiri karena beradu dengan apa yang disanggahnya, dan menyaingi efek atap karena keseluruhan bentuk tampak tertutup (karena sudah ada ‘atap’ persegi itu). Kalau pun segitiga landasan itu dihilangkan, efek landasan sudah bisa ditemukan lewat benda di atasnya. Benda di atasnya sudah mencipta ground-nya sendiri. Maka, prinsip kesatuan, keseimbangan dan proporsionalitas harus mendapat perhatian di tengah variasi. Ketiga, perihal keindahan. Keindahan dapat diperoleh melalui perpaduan komposisi teknis dan komposisi estetis. Komposisi teknis melibatkan prinsip desain secara umum, yaitu keseimbangan susunan (balance), proporsi, penekanan, fokus (emphasis), kejelasan (clarity), irama, gerak (rhythm), kesatuan (unity), dan variasi (variety). Sedangkan komposisi estetis melibatkan pengalaman estetis dari pembuat karya. Dalam pameran desain elementer ini, komposisi teknis mendapat penekanan dibanding dengan komposisi estetis. Yang estetis itu, dalam hal ini, adalah yang memenuhi standar teknis. Namun, ketika karya ini harus “keluar,” atau untuk dimasukkan dalam konteks yang lebih luas, perlu ada kepekaan terhadap konteks sosial-budaya (yang bisa menjadi sumber bagi pengalaman estetis) agar karya itu mampu dimaknai secara lebih dalam. Maka, keindahan, dalam arsitektur, atau pun dalam desain visual secara umum, tidak hanya melibatkan kemampuan memenuhi standar desain elementer, melainkan kemampuan “ruang dan bentuk imajiner” itu berelasi dengan situasi sekitarnya. Dengan kata lain, keindahan, kepadatan, sensasi, keberhasilan suatu bangunan adalah ketika ia mampu berelasi dengan lingkungan sekitarnya, kontekstual, sehingga menjadi satu kesatuan dengan konteks, tidak ngambang. Untuk mencapai ini, pertama-tama dibutuhkan penguasaan atas desain elementer karena desain elementer bisa dikatakan sebagai “rambu-rambu” teknis dalam berkarya. Beberapa hal yang belum banyak diolah, misalnya warna, tekstur, lipatan-lipatan, rongga-rongga, nampaknya merupakan hal potensial untuk menciptakan keleluasaan eksperimen, dan mengolah efek komunikasi dalam ruang (dalam dunia arsitektur ini berimplikasi pada hadirnya suasana terbuka, santai, akrab, menjauh dari kesan angkuh, tertutup, dan kaku). Pendek kata, selain didukung oleh material alam yang digunakan, elemen-elemen tersebut, jika dieksplorasi lebih dalam, agaknya bisa menjadi peluang dan sangat berguna menciptakan desain yang “ramah lingkungan.” [1] Gilles Deleuze & FĂ©lix Guattari. 1994. What is Philosophy? (Trans. Hugh Tomlinson & Graham Burchill). London: Verso, hal. 184. [2] Idem. [3] Sadjiman Ebdi Sanyoto. 2005. Dasar-Dasar Tata Rupa dan Desain. Yogyakarta [4] Kategori “Titik-titik yang membentuk ruang geometris.”
Langganan:
Postingan (Atom)