September 23, 2011

Amang Rahman Jubair (1931-2001)

Penantian Yang Hening


Ada satu jalan
Ku tak tahu
Di langit
Atau di bumi
Ketika aku bicara
Aku bicara pada diri sendiri


Demikian bunyi salah satu puisi berjudul “Puisi Dua” (1991) karya Amang Rahman, pelukis yang juga penulis sastra, dan pernah menggeluti dunia teater, srimulat, dan ludruk.

Kediaman, kesunyian, dan kesendirian adalah suasana yang tampak pada lukisan Amang Rahman. Di sana ia merenungkan kesatuan antara semesta dirinya, jagad cilik (jagad alit, mikrokosmos) dan alam raya, jagad gedhe (makrokosmos). Selain lewat kata, renungan itu disanpaikannya lewat warna-warna dalam karya lukisnya.

Kendati pun ia dikenal sebagai pelukis kaligrafi, Amang juga banyak melukis figuratif yang nonkaligrafi. Dalam lukisan nonkaligrafinya, ia menghadirkan garis-garis semacam garis cakrawala, sosok-sosok anonim, dan juga beberapa bentuk, seperti bulatan (semacam bulan, biasanya juga berwarna serupa bulan), garis-garis semacam awan, angkasa. Ia seperti sedang melukis relasi antar kedua jagad itu.

Sekitar 1970-an, kaligrafi modern Islam mulai menjadi kecenderungan di Indonesia, dan marak pada festival Istiqlal I (1991) dan II (1995). Selain Amang, beberapa pelukis yang tergolong pelukis kaligrafi adalah Ahmad Sadali, AD Pirous, Abay Subarna, Amri Yahya, Syaiful Adnan, Hatta Hambali, dan lainnya.

Salah satu pendiri dari Dewan Kesenian Surabaya dan penggagas Aksera (Akademi Seni Rupa Surabaya) ini tidak hanya suka bicara mengenai kematian. Ia juga merenungkan kematian - ketiadaan itu. Maka, tak heran jika ia cukup sering ditemukan sedang berdiam diri di makam-makam tua, misalnya makam Eyang Puspo, Bupati Pertama Gresik.

Salah satu keunikannya adalah bahwa Amang mengolah “warna surga” seperti yang sejak dulu dipahaminya, yaitu “hijau yang bukan hijau” dan “biru yang tidak seperti biru yang ada.” Amang mengikuti kata kakeknya yang pernah mengatakan bahwa surga itu warnanya biru, namun biru yang tidak seperti biru di dunia. Penasaran masa kanak-kanak itu mendorongnya mengeksplorasi warna-warna biru, biru kehijauan, biru kehitaman, dan sebagainya. Karena itu, biru kelam cenderung gelap mewarnai sebagian besar karyanya, mengesankan kesenduan, kesunyian, kedalaman. Dan untuk lebih menemukan apa yang “dalam” dan “jauh” dan “misterius” dari surga itu, ia menggunakan efek pencahayaan, gelap terang sehingga yang tampil, baik dalam lukisan kaligrafinya dan nonkaligrafinya, adalah lipatan-lipatan, keratan-keratan.

Sebahagian Doa Akasyah (1994), misalnya. Warna monokrom biru mendominasi seluruh bidang, dan ayat-ayat doa itu tampak seperti lipatan, cekungan, dan cembungan. Kesan tegas dan tajam terpancar dari pengolahan efek cahaya itu. Karya ini ditujukan untuk sahabatnya, K. H. A. Mustofa Bisri.

Selain biru dan hijau, warna yang sering digunakan Amang adalah kuning. Efek cahaya diperkuat dengan kuning, dan kesan “agung,” “megah” itu muncul. Ilaaha Illallah (1995) dengan tegas menggunakan paduan antara kuning, hijau, biru, dan hitam seakan-akan menggambarkan Tuhan. Selain itu, jenis kuning matang kecokelatan dieksplorasi juga dalam Ya Rachman Ya Rahim (1993).

Lukisan-lukisan Amang sarat dengan bahasa simbol. Bahasa ungkap yang sederhana dan sangat simbolis. Sebagian besar figurnya tanpa ekspresi wajah yang detail, hanya serupa wajah anonim yang sedang berada pada posisi semacam bersila, berlari, melayang, berdiri, duduk, diam, menanti. Tubuh-tubuh itu seperti sedang menanti sesuatu. Karena itu, mungkin, Lukisan Amang kerap diidentikkan dengan gaya surealis, sufis, mistis, dan spiritualis.

Figur-figur yang hadir dalam lukisannya tampak seperti lekukan-lekukan kaligrafinya, misalnya pada Impresi sebuah Lagu (1992), dan Berita Akhir Tahun (1990). Figur-figur itu juga sering tampil secara berulang (repetitif) membentuk irama dalam lukisannya. Dua atau lebih sosok, dengan ukuran yang berbeda, tampak seperti bayangan, pantulan cermin. Misalnya, Nenek (1976), Kasih Sayang (1988), dan Perjalanan Malam (1982) yang menggambarkan kisah Buraq.
Pengolahan penghayatan terhadap jagad kecil dan jagad besar tampak, misalnya Dalam Kehidupan Ini (1994), Meditasi (1991), Impresi Gerhana (1995), Lalu Kudekap Dia (1997), Alam di Luar Alam di Dalam (2000). Demikian juga imaji tentang keseimbangan, Yin-Yang dihadirkannya lewat Putaran Keseimbangan (1999) yang menggunakan paduan warna biru- hijau kehitaman serta bulatan-bulatan bak simbol Yin-Yang. (IndoArt-14)

-sty-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar