Romantisasi Parkit
Dua ekor parkit menyusun biji-bijian dari paruhnya, membentuk sebuah rangka rumah. Parkit-parkit itu bak sedang Menyemai Harapan, demikian istilah Sarwoko, sekaligus menjadi judul salah satu lukisannya pada pameran tunggal, Puisi Parkit, Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta, 22 Mei – 5 Juni 2011.
Karya lain, seekor parkit besar mengapit parkit kecil. Kepala parkit kecil itu seperti menyusup ke dada parkit besar itu. Don’t Worry, be Happy (2010), demikian judulnya. Parkit besar yang mungkin ibu, atau bapak parkit itu bak sedang menghibur, menasihati anak di dekapannya itu.
Ada lagi Immortal Beloved (2010). Dua ekor parkit, yang satunya berbulu dominan warna biru, satunya hijau, duduk berdampingan, berlatar semacam biji-bijian berbentuk ‘love.’ Sebuah ekspresi dari sepasang parkit yang sedang jatuh cinta, atau komitmen sepasang parkit yang baru menikah?
Burung parkit dalam karya Sarwoko, agaknya, melakukan aktivitas khas manusia: mereka menikah, membangun rumah (rangka rumah manusia), melamun, dan sebagainya. Pendek kata, parkit di sini berekspresi, berpose, dan beraktivitas ala manusia. Sarwoko, agaknya, ingin menganalogikan parkit dengan kecenderungan setiap makhluk bertahan hidup, dalam hal ini manusia.
Parkit-parkit (atau burung nuri), yang sering dijadikan burung hias ini, agaknya, disadari atau tidak, benar-benar difungsikan sebagai burung hias, ‘model’ dalam lukisan Sarwoko.
Sarwoko, konon, tertarik dengan wujud indah parkit, dan sensitivitas parkit dalam menghadapi perubahan lingkungan. Ia pun, nampaknya, berlatar gejolak dan kenyataan hidupnya, setidaknya pada karya ini, mengidentifikasikan dirinya dengan parkit.
Namun, agaknya, di sini, menilik pose-pose parkitnya, mereka - yang lebih nampak diposekan sesuai ‘pose manusia’ – kehilangan bahasa burungnya. Pendek kata, bahasa tubuh parkit itu sendiri bak bersembunyi di balik bahasa manusia.
Parkit di sini agaknya telah menjadi ikon yang digunakan Sarwoko untuk menceritakan kisahnya – suatu “Parkit-yang-menjadi-Sarwoko,” tanpa sebaliknya. Pendek kata, parkit dalam lukisan Sarwoko lebih tampak sebagai parkit hasil imajinasi manusia.
Maka, terlihat di sini parkit yang dikondisikan, antara lain dimasukkan dalam plastik yang diikat karet gelang (The Struggle, Mencari Celah) - suatu ekspresi khas manusia untuk menampilkan bagaimana terkurung tanpa udara. Plastik, agaknya, bukan bahasa sehari-hari burung parkit.
Pendek kata, parkit di sini agaknya memang sengaja ‘dimanipulasi’ untuk menghadirkan pada kita sebuah kenyataan pahit: manusia yang berjuang keras (struggle) untuk hidup. Tarik menarik antara hidup dan mati disimbolkan Sarwoko dengan jaring-jaring, tali, bungkusan daun, plastik, air, biji-bijian, dan sebagainya yang menyertai para parkit itu.
Agaknya, dalam karya-karya Sarwoko kali ini - seluruhnya lukisan parkit dengan teknik realis - ada kecenderungan ‘romantisasi’ parkit, parkit yang diromantisasi. Berserah Diri (2010), misalnya, dua ekor parkit berbaring bak sedang tertusuk panah, atau tombak. Parkit itu nampak seperti hero, atau Kristus yang menyerahkan diri demi sesuatu. Juga pada parkit berbulu paduan warna biru, hitam, dan putih bak sedang melayang jatuh, tertahan oleh jaring-jaring, matanya terpejam, kepalanya di bagian bawah pada Life is Struggle (2010). Pendek kata, kesan heroik yang ditampilkan agaknya yang membentuk dan memperkuat romantisasi para parkit itu.
Dalam Ketika Daun-Daun Mengering (2010) - sebuah judul yang terkesan puitis - parkit biru bak sedang terjatuh, terbaring di atas bebatuan, di sebelahnya daun menguning, tepiannya sobek. Parkit itu terpejam. Gambaran yang lebih tampak romantis-puitis itu seakan berpesan: bahkan ketika daun-daun mengering pun, parkit, pun dalam kematiannya (yang notabene adalah burung berdaya tahan lemah), tetap indah. Parkit di dalam lukisan Sarwoko adalah parkit-parkit yang menjalankan fungsi sebagai ‘burung hias,’ parkit yang pantas dipandang.
Tak hanya burung parkit yang sendirian menahan ‘sakit,’ berjuang dan menang, romantisasi Sarwoko ini bisa dilihat pula pada gerak beberapa ekor parkit yang sedang bermain, bercanda satu sama lain, mereka bak menari – melonjak, separuh terbang, dalam Water is Life (2010).
Cara ungkap Sarwoko melalui burung parkit bukan hal baru, dan terkesan umum, karena itu pesan para parkit ini mudah kita terima. Di kanvas Sarwoko, parkit-parkit hias itu bak menjelma, memotivasi kita semua untuk tak menyerah dalam kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar