Juli 27, 2013

. pada sebuah coret



esai untuk pameran Melupa, Ugo Untoro, 20 September 2013, Ark Galerie, Yogyakarta

Stanislaus Yangni





Ugo Untoro, Dari Bawah ke Atas (2013)


1/ melepas lukisan

Ugo yang kita kenal selama ini adalah Ugo yang melukis tubuh, figur, bentuk. Kendati ia salah satu yang sering menyertakan tulisan dalam lukisannya, tapi kita lebih mengenalnya sebagai pelukis figuratif, dalam arti ada bentuk, ada sosok dalam lukisannya.

Tapi ada suatu masa di mana bentuk itu menjadi begitu membosankan, dan melukis tampak menjadi seperti menghias. Ini mungkin merekam ingatan masa awal remajanya, saat Ugo masih berseragam putih-biru, jatuh hati pada lukisan Sudjojono di buku Koleksi Lukisan Soekarno. Lukisan itu tak hanya figur, tapi juga ada tulisannya.

Sejak itu, Sudjojono begitu hidup dalam ingatannya.

Tapi ia tak melukis seperti Sudjojono melukis. Terlebih kali ini. Ugo sedang tak ingin menggambar bentuk. Pendeknya, ia jenuh dengan bentuk. Maka, sapuan kuas yang terkesan asal-asalan ‘ala’ Sudjojono pun tak tampak, dan satu pun bentuk dalam arti figur tak muncul. Kali ini seluruh latar belakang lukisannya monokrom, dan sapuannya tak kelihatan sama sekali. Ia menulis di atas kanvas. Lukisannya tulisan. Ugo melukis tulisan. Dengan kata lain, Ugo menulis.

Tak hanya bentuk. Ada hal lain yang khas dalam lukisan yang ingin ia ‘singkirkan,’ yaitu yang dia katakan sebagai aspek artistik. Lukisan, atau karya yang memuat kata ‘seni,’ mau tak mau mengandung, atau nilainya terletak pada “artistik.” Artistik – dalam konteks ini (berbeda dengan ‘Yang Indah’) berupa elemen-elemen rupa yang sudah dianggap ‘standar,’ mapan dalam seni rupa, seperti komposisi, garis, warna, tekstur, volume, dan sebagainya. Walaupun dalam lukisan figuratifnya itu semua sudah tak dipedulikan, dalam arti tertentu, dilampaui – namun, setidaknya, ketika melukis, menurutnya, tetap masih memuat pertimbangan pilihan, misalnya warna, atau komposisi.  Masih dilihat-lihat enaknya gimana. Ia ingin membebaskan diri dari itu, bak laku kenosis – mengosongkan diri, melepaskan diri dari lukisan, melupa sebentar, menjaraki diri, sambil tak bisa, dan tak mungkin menyangkal bahwa ia sedang melukis.

Ia seperti sedang kembali pada yang tampak bukan lukisan dengan semangat melukis.

Maka muncul lah karya-karya yang kalau dilihat lebih jauh, tampak sangat manusiawi - dan mungkin saya bisa katakan: telanjang. Ugo tidak ingin berhias, atau pun menghias. Ia hanya ingin bercerita, apa pun isinya. Dengan menulis ia merasa lebih bebas, tanpa harus distilisasi, diurutkan, dan sebagainya, hingga pada akhirnya ia menemukan bahwa menulis – tangan yang bergerak membentuk huruf, mengurutkannya - dirasainya sama dengan melukis.


2/ melukis tulisan

Lukisan tulisan ini mengingatkan kita pada kecenderungan karya yang  menggunakan teks. Bahkan, ada beberapa karya yang tampakan visualnya mirip karya Ugo. Tapi Ugo bukan seniman teks. Ia tak menggunakan teks seperti tren seni konseptual era avant-garde  yang konon marak di Amerika 1970an. Teks, atau tulisan dalam karyanya, itulah lukisannya.

Oleh karena itu ia berbeda dengan Annabel Daou yang menyalin konstitusi, The Declaration of the Cause and Necessity of Taking Up Arms (2006), atau karya transliterasi pada In Constitution (2006) yang mentranskrip teks dari bahasa Inggris ke Arab, kendati tampilan visualnya tulisan tangan nyaris penuh, sekilas serupa karya Ugo. Ada tujuan, semacam konsep dalam karya Daou: ia ingin memperlihatkan adanya missing character yang tak bisa dielakkan pada proses transliterasi.

Ugo juga tidak mengabadikan pendapatnya mengenai seni dan lukisan seperti pada karya John Baldessari, What Is Painting (1966-68) dengan huruf cetak dan latar belakang polos,  atau Mel Bochner, yang kendati memang ingin membuat “apa yang tidak tampak sebagai seni,” namun pada karyanya tampak ‘tertata,’ ada pertimbangan komposisi, olahan latar belakang, dan cenderung sarat konsep hingga orang harus berpikir ketika melihatnya.

Tulisan Ugo juga tak ditata sedemikian rupa seperti puisi Sutarji yang ditata sedemikian rupa memiliki aspek ornamentik melalui permainan suku kata, bukan pula karya kolase berupa tempelan teks dari berbagai sumber seperti Leonore Tawney, misalnya,  atau Molly Springfield yang banyak menggunakan teks dari buku teks yang difotokopi, atau dirangkum, semacam notes bacaan. Karya tulisan Ugo juga berbeda dengan Mira Schor yang ‘melukisi’ bidang kosong dengan sepatah kata, Joseph Kosuth yang karyanya pernah dijuluki linguistic art, atau yang lebih lampau, Rene Magritte yang bak bermain dengan teka teki antara teks dan image.

Mereka tampak punya kesadaran ‘memainkan’ teks dan makna, membuat orang berpikir. Mereka melek tipografi. Tapi Ugo tidak. Ia hanya ingin bercerita dan melukis dengan cara terus menulis. Ia bahkan tampak tanpa maksud untuk berkomunikasi, maka, kalau pun tampak ada cerita pada beberapa kanvas, semuanya terkesan hanya mengalir dan patah. Sobek. Ia menulis tidak berawal dari tema, dan kalimat selanjutnya setelah kalimat sebelumnya adalah rangkaian kata-kata yang muncul begitu saja, lahir di saat bersamaan ketika ia dengan kuas, pena, atau spidolnya menyentuh kanvas.


3/ act of painting

Dulu ia pernah menulis dengan sangat pendek, dikumpulkan dalam sebuah buku Short Short Stories. Tapi kini ia menulis lebih panjang dan lebih banyak dari yang selama ini mungkin pernah ia tulis. Ugo bak ngomong dhewe, bicara sendiri lewat tulisan tangannya. Tak peduli apa itu akan dibaca, ditelaah, atau diapakan. Ia hanya ingin menulis. Maka, kanvas besar-besar diawalinya dari ujung tanpa garis tepi, sampai ke ujung kanan tanpa garis tepi.

Tulisan tak bertepi ini muncul pada sebagian besar karyanya, di antaranya Mata Kaki (2013), Akhirnya Anjing (2013), Dari Bawah ke Atas (2013). Di sana kesan tak selesai begitu kuat. Kendati pun kanvas telah penuh, kesan belum selesai itu tetap muncul. Juga pada karya lainnya, misal Minus (2013). Tulisannya bak bertahan selalu di tengah-tengah, selalu seakan ‘sedang dalam proses pengerjaan’  hingga pada akhirnya bukan lagi isi yang akan kita lihat, melainkan act of painting, yang dalam istilah Deleuze sebagai “diagram,” atau “graph,” dari kata Yunani, Diagraphein yang artinya memberi tanda-tanda, coretan, garis-garis, sesaat sebelum lahirnya lukisan. Ia bak sketsa yang meminta kita kembali karena nyaris selesai, tampak selesai, bisa sudah, bisa belum, bisa barusan mulai, dan bisa dilanjutkan. Ia meminta untuk dilanjutkan, dimulai kembali, karena awal dan akhir, mulai atau selesai, pada akhirnya adalah sebuah keputusan, bisa jadi ilusi, demi pemahaman.

Mata Kaki (2013), misalnya. Di sana tampak kisah yang terus ngomong, bicara pada kita, sembari terus melintas, seperti sebuah nomadic line, garis yang dinamis, berpindah, tanpa arah yang pasti, dan tampak tanpa henti. Maka, di sini, bisa jadi Ugo sebenarnya sedang melukis (tentang) melukis, melukiskan melukis, atau menulis (tentang) menulis, menuliskan menulis. Tanpa sadar ia membawa kita pada pengalaman melukis itu sendiri, sebuah perjalanan kreasi: Kembalinya spontanitas yang inheren dalam proses melukis itu, sebuah “aksi melukis” – yang harusnya bebas dari kekhawatiran akan yang artistik.

Pada karya Dari Bawah ke Atas (2013), kita bisa membacanya dari manapun. Ugo memang menulis dari bawah ke atas, tanpa berurusan dengan urutan apa yang ditulisnya hingga kita bisa membacanya dari mana saja. Ada cerita di dalam cerita, dan berbagai adegan yang tak direncanakan. Lapisan-lapisan ini dimungkinkan hadir karena Ugo tidak terperangkap alur dan tanda waktu. Ada tokoh cerita dengan nama dan kegiatannya, ada deskripsi kejadiannya, dan hampir semua bidang ditulisi bisa jadi tanpa klimaks, hanya cuplikan, sobekan (ingat sobekan kertas koran pembungkus nasi yang kalau kita baca dan merasa beritanya menarik, tapi kita sedikit kecewa karena ia terpotong). Klimaks bisa saja terjadi di kanvas yang lain secara tiba-tiba, sebuah klimaks dari kisah yang lain lagi. Tak jarang, dengan gaya tutur seperti ini, cerita lahir di tengah, atau menjelang akhir, misalnya Dinamit (2013), yang setelah banyak bertutur tentang apapun, kemudian merucut pada sebuah adegan menegangkan.

Selain kanvas yang tanpa tepi dan dipenuhi kalimat ‘cerita,’ ada lagi bentuk lain: berbagai adegan yang tak ada kaitannya bak tumpang tindih dihadirkan dalam satu kanvas. Pada Puntung Panjang (2013), kanvas besar di bagian kanan tengah berisi potongan-potongan kalimat, “Lautan karang. Burung-burung yang berjatuhan. Simpang tujuh. Perempuan cantik” dan berisi beberapa baris frase-frase semacam itu. Di bagian lain, ada tulisan kalimat sangat tipis, tak sebanding dengan latar belakang hijau tua gelap itu, dan di bagian lainnya, ada huruf-huruf Arab. Kanvas ini berisi setidaknya sepuluh sobekan (kalimat-kalimat yang tak ada hubungannya satu sama lain tapi ada bersamaan di atas kanvas). Bentuk sobekan-sobekan yang terkumpul ini juga tampak pada Igau #2, ada kalimat yang dicoret, ada tulisan pensil, dan cerita super pendek tentang seekor gagak yang bunuh diri.

Kita bertemu juga pada kalimat runtut dalam tulisan Ugo, seperti karya Sangkuriang (2013), sebuah cerita tentang bocah kecil yang dipukul ibunya karena senang bertualang di hutan. Namun, kalaupun kalimat itu runtut, alur jelas, paling tidak bisa kita bayangkan peristiwanya, tetapi ada yang lain: perihal waktu. Antara mimpi, kenyataan, dulu, kini, atau masa depan seakan lebur jadi satu. Tanda waktu hanya melintas, dan ia hanya hadir di balik kata “sore,” “siang,” “hujan,” dan sebagainya. Waktu tampak begitu tiada di tangan Ugo. Tidakkah ia, waktu, punya tanda, dibunyikan dengan angka karena kita memang harus menyebutnya?

Kesan ‘tanpa tepi’ ini muncul juga pada bentuk lain, Regasa (2013). Walau terkesan masih muncul kesadaran akan komposisi: tulisan di tepi kiri memenuhi bidang kanvas, rata kanan hanya beberapa centimeter dari tepi kiri kanvas, sedangkan bidang sisanya, monokrom hijau muda, kosong. Yang kosong ini barangkali juga penuh, dipenuhi yang lain yang ‘mendesak’ tulisan hanya di tepian, nyaris terpotong. Ruang kosong itu seakan meminta untuk diisi, tapi juga sekaligus telah ‘dimatikan,’ sudah penuh. Isinya bak sobekan cerita dari dunia persilatan.

Bentuk lainnya, tulisan-tulisan pada lakban (isolasi), misalnya, sebuah adegan yang tak lengkap, hanya berapa baris, bisa dibaca berputar, mulainya bisa dari mana saja. Karya ini tampak ‘penuh,’ lengkap, sekaligus tak lengkap, sebab membacanya pun tak pasti, selalu berputar, bisa berawal lagi tepat ketika berakhir, karena ketika membaca dan merasa maju, sebenarnya kita kembali lagi ke kalimat yang barusan, one-just-after dan one-just-before: ia hanya melintas.

Karya isolasi ini agak bertolak belakang dengan meteran, kendati semangatnya sama. Pada karya meteran, kita bisa dengan sangat jelas membacanya, kiri ke kanan, dan hanya satu baris. Meteran, yang notabene ada ukurannya, telah menjadi begitu cair justru karena ia ditulisi – bukan karena dihapus ukurannya. Kata-kata itu yang memancing kita untuk tidak berhenti. Ia berguna, mungkin, untuk mengingatkan kita bahwa ada jenis waktu yang tak bisa sepenuhnya diukur. Meteran itu dibentang penuh dengan tulisan yang berisi potongan kisah seperti juga karya pada tepian buku.

Kendati diam, tulisan di mana-mana itu mengajak kita untuk sama-sama mumet, dengan kesan monoton yang kuat, sama-sama merasakan pengalaman membaca: potongan-potongan tersebut hampir pasti langsung bisa dilupakan dan demikian cepat berganti dengan potongan lain, seperti serpihan ingatan yang barusan dijejerkan, dipakai, dibuang, diganti. Kini, kata-kata jadi terlihat usang.

Ada lagi karya berbentuk surat-surat, menarik, tapi tak sekuat karya-karya tak bertepi di kanvas besar Ugo. Foto Keluarga (2012-2013), misalnya, tulisan pada potongan kardus-kardus bekas yang diframe. Ada banyak kisah di sana hingga kita bisa menikmati membacanya, kisah-kisah tampak lebih personal, cenderung melankolis. Karya lain, tulisan lama, tertanda 2011 pada batang-batang rokok Marlboro, sebagian besar surat-surat super pendek untuk Tanah, anaknya. Ada lagi autobiografi, tertutup di dalam sebuah amplop putih besar, misterius seperti kisah Purloined Letter karya Edgar Alan Poe. 


Menulis, dalam konteks ini, mungkin adalah sebuah kesadaran bahwa kita selalu tergelincir karena tiada sebuah kata pun yang mampu mengungkap keinginan, kalau mengutip kata-kata dalam film Andrei Tarkovsky, Stalker, “How would I know the right word for that I want?” Barangkali ada lubang pada setiap kata hingga ada puisi, ada kalimat, kata yang selalu ditulis lagi – di momen ini, Ugo menulis terus dengan satu kesadaran yang sudah dicerapnya lama: menghindari kata sambung sebisanya. Ia merasa bahwa banyaknya kata sambung, seperti “Yang,” “Serta,” “Dan,” “Atau,” dan semacamnya membuat kalimat tampak terlalu jelas, selesai, ilustratif, naratif, mematikan peristiwa. Kisah bisa jadi terlalu linear, sudah tampak jadi, selesai, dan tak lagi melahirkan imajinasi bagi pembaca. Semangat Ugo tetap puisi, walau di karyanya kali ini, agaknya hanya satu dua yang tampak ‘puitis.’

Ketika Ugo ‘melepas lukisan,’ ia telanjang, dan kembali pada proses kreasi itu sendiri, act of painting, pada sebuah momen ‘coret.’

Melalui momen menulis yang tak henti itu, ia seperti sedang mengoreksi lagi melukis, mengoreksi lagi menulis. Ia seakan mengalami lagi melukis dengan cara yang berbeda. Setiap kata, setiap kalimat sebelumnya seakan meminta untuk ‘direvisi’ hingga tak ada selesainya untuk ditulis lagi. Tulisan yang selalu (harus) dituliskan kembali ... karena kata tak pernah abadi. Kesadaran akan kesementaraan itu yang mungkin mengundang Derrida untuk berfilsafat tentang jejak, trace, kemudian meninggalkan sebuah pesan pada kita tentang cara menggunakan kata: bahwa kita harus belajar menggunakan bahasa dan menghapusnya pada waktu yang bersamaan.




Stanislaus ‘sius’ Yangni

Mei 09, 2013

esai pameran Figuring Text-Texting Figure



Tragedy of the Figural

Stanislaus Yangni



Dalam “Line and the Letter,” sebuah tulisannya yang didedikasikan pada Paul Klee dan Andre Lhoté; Jean-Francois Lyotard, pemikir yang banyak dipengaruhi oleh gagasan fenomenologi, menuliskan bahwa “the less ‘recognizable’ the line, the more it becomes visible.” Semakin suatu garis tidak dapat dikenali, garis itu justru semakin kelihatan (ketok). Ia menyatakan dirinya sendiri secara langsung di depan kita, entah melalui apa yang dibentuknya, atau hanya ia sendiri. Tapi apa yang bisa dilihat dari sesuatu yang tak dapat dikenali? Lyotard menjawab: Yang Figural.
Yang Figural (akan dibedakan sangat tajam dengan yang figuratif) ini, konon adalah sebuah cara, jalan untuk menyingkapkan ‘yang visual’ di dalam yang terlihat, “ ... the figural is the way to reveal the visual inside the visible,” yang dalam istilah Klee, mungkin “invisible force,” Maldiney mengatakannya “ritme,” sementara Cezanne menyebutnya “sensation.” “Yang visual” ini bukanlah suatu esensi bentuk, atau semacam ‘bentuk ideal’ dari sesuatu,  melainkan suatu peristiwa, “an event in the visible itself.”
Bisa jadi, seni adalah suatu peristiwa yang terjadi dalam pengalaman melihat itu sendiri.
“Figuring-text, Texting-Figure” ini memberi kesempatan pada kita bicara tentang “yang visual”  dalam lukisan. Sekilas, di sini mungkin terlihat, dan mungkin muncul anggapan bahwa ini adalah semacam ‘ajang’ duet antara pelukis realis-figuratif yang “memuja bentuk” dengan abstrak-ekspresionis yang dianggap “melalaikan” bentuk. Tapi bukan itu. Keduanya tidak berangkat hanya dari perihal bentuk, dan tulisan ini tak akan bicara tentang kecenderungan gaya, maupun narasi di balik karya.


1/teks

Saat berhadapan pada sebuah karya (lukisan) yang sekilas berisikan sekumpulan teks, coretan, garis tak beraturan, dan sebagainya, pengalaman kita yang pertama adalah pengalaman melihat. Pendek kata, sebelum membaca, kita lebih dulu melihat teks. Teks itu terbentuk dari sambungan garis yang berupa abjad, huruf, lalu sekumpulan kata. Tapi teks yang tertulis di sana, andai terbaca pada momen pertama kita melihat pun, bukannya tanpa dilema. Ia tetap bagian dari karya lukis di atas kanvas (misalnya), sejelas apapun teks itu hadir di depan kita. Di Indonesia, kanvas yang semata-mata berisikan teks saja rupanya belum digarap. Selalu ada ruang-ruang lain, semacam sapuan lain yang menyertai teks, “menghias teks,” atau memberi semacam “penyangga” sebagai ‘landasan’ teks di atas kanvas, yang efeknya jadi terlihat bak lukisan abstrak. Di sana, seringkali teks terlihat belum mampu menyatakan dirinya sendiri padahal ia - di sini saya bisa menyebutnya juga dengan tulisan – tetaplah punya roh Figural: “yang Figural” tetap punya kemungkinan muncul dalam yang tekstual. Figur, atau “yang Figural” ini  memang tak mesti berbentuk.
Teks, mula-mula dalam karya Dedy, Damai Semesta Alam (2013) dan Humanist Theory (2013), dibentuk lewat screen (teknik sablon) di atas kanvas, beberapa kali hingga tampak berlapis-lapis. Teks ‘tumpang tindih’ yang awalnya dimaksudkan sebagai tekstur itu masih sangat jelas terbaca, sekeras apapun Dedy memberi “coretan” lain di atasnya, mencoba “melemahkan outline,” menyamarkan garis tepi yang serupa frame pada Damai Semesta Alam, misalnya. Teks yang berupa cuplikan dari buku - atau naskah yang pernah dibaca Dedy ini, antara lain,“Manusia hasil rekayasa Tuhan?” dan sebagainya ini - kendati fungsi awalnya sebagian besar sebagai background yang akan diangkat kembali menjadi ‘teks depan,’ namun bak terlanjur tampak dominan menyangga keseluruhan kesan dalam lukisan Dedy.
Teks yang terbentuk dengan coretan tangan Dedy pun tampak ‘kalah saing’ dengan teks yang ditulis komputer. Begitu tegas, formal, dingin. Namun ini menarik karena terlihat interaksi antara yang manual dan yang optikal: Dedy, dengan tangannya sendiri bak berusaha menghapus, mengangkatnya kembali, menimpanya dengan tulisan yang makin tak terbaca.
Karya lainnya, yang terlihat jauh berbeda dengan tiga karya screennya, yaitu Berpikir Dosa (2013) dan Alice in Wonderland (2013) menyuguhkan kesan spontan yang kuat. Teks dibentuk oleh tangan. Di karya tersebut Dedy seperti sedang menulis, mencatat, dan mencoret-coret buku tulis, atau papan tulis. Kalaupun teksnya terbaca, misal “Lucky luke,” “Iras-Isar,” dan angka-angka dalam Berpikir Dosa, ia (coretan-coretan itu) tampak sebagai Figur itu sendiri, bukan penyangga, bukan hiasan. Teks di sini berbeda dengan teks screen Dedy. Kalau di karya screen, teks bagai jadi penyangga, tapi juga terlalu tegas hingga agaknya teks malah menjadi sesuatu yang figuratif. Namun, di karya ini, “Yang Figural” bak mulai muncul lewat efek hapusan putih, sapuan kuas putih, merah, serupa tip-ex, kadang merah, kadang abu-abu. Kesan jejak di sini lebih kuat. Hubungan teks-figur pada Alice in Wonderland (Figur tidak dalam arti obyek, melainkan garis yang menggabungkan diri: gambar wajah, garis serupa awan-awan, dsb) membentuk jalinan yang ritmis. Pendek kata, Gambar itu menyatu dengan garis-tulisan yang melahirkan ritme. Di sinilah “yang visual” bisa dikatakan muncul dalam teks. 
Dua karya Dedy itu setidaknya menuntun kita pada dua fenomen kreasi, selain gagasannya mengenai intertekstualitas, yaitu: pertama, teks-image (teks yang sudah menjadi image, cenderung bersifat figuratif), dan kedua, teks-form, semacam teks yang seolah-olah sedang menjadi, mencari bentuk.
Kecenderungan pertama, teks-image ini muncul pada, misalnya karya Farhan yang mengambil ikon-ikon produk makanan, obat, dan sebagainya yang sering kita lihat di mana-mana, dan karya Agus Baqul, Ayat Kursi #8. Kalau Dedy membangun ritme dengan cara menghapus, mengisi, mengosongkan, melanggar, Farhan mungkin punya cara serupa, walau ia nampak masih gamang karena teks yang digunakannya sudah jadi ikon, image yang sudah mapan.
Lewat ikon, teks yang sudah menjadi image ini, Farhan agaknya ingin bermain dengan “space.” Ia mencari yang kosong dalam yang penuh, dan yang penuh dalam yang kosong. “Space available” dalam karya Fill More in the Blank  (2013) yang bisa kita kenali lewat conteng-conteng merah itu sekaligus menandai ruang putih (kosong) yang terjepit. Kosong dan penuh itu agaknya bergantian, saling menyatakan diri, menjadi sama. Bisa jadi, keduanya memang sama-sama ilusi. Kosong itu penuh, demikian sebaliknya. Di karya yang lainnya, Just Eat It Up, kita melihat bungkus bermerek makanan instan yang jadi sampah dibuang. Di sini space lebih ditonjolkan lewat bentukan tak beraturan ikon yang serupa tumpukan sampah itu. Ikon-ikon mereka jadi jungkir balik. Agaknya di sini, Figur punya celah lahir: lewat space yang tak terduga kemunculannya.
Dalam karya Agus Baqul, Ayat Kursi #8, teks nampak begitu dominan, jelas terbaca. Teks itu bak meminimalisasi permainan warna yang biasa diolah Baqul. Dalam karya ini, warna bak sekadar memberi dimensi, bayangan di belakang teks.
Karya tersebut berbeda dengan karya Baqul lainnya yang memiliki kekuatan pada lapisan warna, dan tampak lebih spontan, misalnya jalinan ritmis antara garis (huruf kaligrafi) cokelat tua dan biru pada At Thariq ayat 1. Semua warna dalam karya Baqul agaknya bisa muncul, tenggelam, muncul lagi, tenggelam lagi. Tak selesai. Tak ada habisnya ketika ia tidak memutuskan mana warna “akhir” yang akan diangkat, dimunculkan. Bahkan, ketika warna itu tak diinginkan, bisa diangkat warna lainnya. Begitulah, ritme lahir lewat tone, ketidakselesaian perjumpaan dan saling-kelindan antar warna.
Karya TAB IV dan TAB V merupakan dua seri terbaru dan tergolong eksperimentatif. Baqul menggunakan warna dan gerak, dan efeknya pada mata ketika penimpaan warna tak seberagam biasanya, malah cenderung silau di TAB seri V, di mana warna merah muda yang dioleskan hanya sekali pada kanvas (karena efeknya menarik Baqul, ia tak menimpanya lagi), diisi tulisan abu-abu yang ternyata teks dari lagu Tanah Air Beta. Tulisan teks lagu “Tanah Air Beta.” Pada TAB seri VI, walau tak kaya warna, tampak bahwa rangkaian kata Baqul sedang bergerak menuju, atau menjadi sesuatu yang entah. Di sini, bukan pesannya yang berjalan, melainkan bentukan visualnya: gerak garisnya yang bak ‘meleleh’ dari huruf semula.


2/ Figur                                                                                             

Kalau teks yang terlalu mapan, solid dan pasti itu berisiko menggugurkan “yang figural,” atau “yang visual” dalam lukisan, demikian juga figur. Agaknya keberadaan figur ini akan selalu dihantui oleh satu bahaya besar: figurasi, representasi. Karena untuk menemui “yang visual,” logika pemaknaan, signifikasi, representasi tak berlaku di sini. Seperti musik, dalam lukisan, “yang visual” ini ditemukan lewat ritme.
Menariknya, perjumpaan figur dan teks ini bisa dilihat pada zona di mana keduanya melebur, yaitu garis. Seperti juga pada teks, figur pun bisa menjadi image, ikon, atau form (proses menjadi “yang Figural”) karena keberadaan garisnya.
Kalau dalam karya yang dominan berisi “teks” kita bak penjelajah pencari “yang Figural” dalam teks lewat ritme, dalam karya bernuansa figuratif kita bak sedang menjadi tim penyelamat: me-rescue Figur, juga lewat ritme. Figur sudah ada di sana, tapi bagaimana menyelamatkannya, menariknya keluar agar ia tidak terjebak dalam figurasi. Agaknya, ini beban berat bagi para seniman.  Namun, apakah benar ia, yang visual, “yang Figural” itu dapat diselamatkan?
Mula-mula di sini ada Seno dan Anis yang dengan teknik realisnya menggarap figur yang juga realis, figur manusia. Anis memilih nada parodi, sedang Seno menghadirkan potret, apa adanya, yang tentu saja menonjolkan wajah dan pose manusia.
Ada yang menarik di Seno, kendati ini sangat riskan untuk menyelamatkan Figur: ia bak sedang menggarap dua lukisan dalam satu kanvas. Latar belakang dan figur. Keduanya ini digarap terpisah, dalam arti berbeda kecenderungan dan cara memperlakukannya. Bagi Seno, latar belakang diperlakukan, dan digarap sebagai lukisan abstrak, dengan akrilik, dan figur digarap setelahnya dengan teknik realis cat minyak. Keduanya tampak terpisah, bak potret sesungguhnya di mana figur berpose di depan sesuatu, kain layar, misalnya, yang jadi latar belakangnya.
Lihat karya Tjindur III (Harmony). Sekilas, figur tampak menonjol, menguasai bidang kanvas, bak mengalahkan latarnya. Namun, agaknya, kemunculannya tidak banyak diantisipasi oleh latar belakangnya. Dengan kata lain, ia bak tidak menyatu dengan latarnya hingga ritme tak muncul. Kendati pun di latar belakang tampak diusahakan memberi konteks pada figur, misalnya dengan coret-coretan serupa gambar anak TK (mungkin ingin menggambarkan bahwa figur itu masih usia TK, atau SD), namun figur tampak tenggelam lagi dalam latar yang meriah itu. Demikian juga pada Tjindur II (Rain). Anak laki-laki duduk di atas semacam tiang beton, membawa payung yang tak dibuka. Mungkin ia sedang dalam posisi kedinginan, setelah bermain-main di bawah hujan. Latarnya coretan-coretan serupa rumus-rumus di bangku sekolah. Pendek kata, figur manusia Seno seolah sendiri, tak sedang menempati space-nya, atau berinteraksi dengan latarnya. Salah satu yang tampak menyatu (utuh), figur dan latarnya, agaknya bisa dilihat pada sebuah karya lama Seno, Message for My Government (2011).
Anis mungkin tak punya pengalaman sebagai pelukis potret seperti Seno. Figur manusia Anis tampak ‘steril,’ namun menyimpan potensi untuk dideformasi. Figur-figur Anis  mengingatkan kita akan ikon-ikon Farhan: keduanya mengacu pada bentuk solid. Di sini, Anis kelihatannya asyik bermain-main dengan “potongan tubuh” yang bisa jadi image yang sedang dalam proses dikembalikan pada “form.” Ia melakukannya lewat permainan mimik. Ia sangat mungkin kaya teknik visual menghadirkan beragam ekspresi dan cara orang tertawa, entah menyimpan sinisme, atau ironi kehidupan, lihat pada karya-karya Puppet Director Series. Karya barunya, sebuah karya kolaborasi ia dengan anaknya, Father and His Son Fight (the First) mungkin menjadi babak baru eksperimentasinya dengan kanvas terisi penuh – walau tampaknya tak sekuat karya sebelumnya.
Kemudian ada Popok dan Januri yang figur-figurnya tampak imajiner. Figur-figur mereka bukan sosok manusia realis seperti Seni dan Anis. Popok dengan figur-figur manusia yang saya sebut “serupa dengan kayu,” dan manusia Januri yang “patah-patah dan berserat” dengan masih nuansa kayu.
Popok dan Januri memiliki kekuatan di garis, dengan karakter yang jelas berbeda. Garis Popok tampak tertutup, tebal, kuat dan tampak “membungkus figur.” Kecenderungan ini agaknya memang melekat sejak lama, dan diperkuat dari pengalamannya sebagai ilustrator. Dalam figur-figurnya yang komikal, tampak kesan visual garis dan warna kuat. Kesan figuratif diperoleh terutama lewat garis outline yang menutup, bak mengikat figur, misalnya dalam Fetching a Glory. Namun itu tampaknya bisa disiasati dengan pengolahan beragam ekspresi pada figur-figurnya, sapuan kuas, atau dengan warna yang mungkin lebih ‘gosong,’ untuk menunda efek ilustratif yang masih kuat. Garis Popok bisa dikatakan “garis yang berkarakter cukil” walaupun di atas kanvasnya ini garisnya tidak dihasilkan dari cukilan.
Kalau Agus Baqul bereksperimentasi dengan warna pink di karya terbarunya, Januri menggunakan monokrom biru dan hijau terang serupa permen di dua kanvas karya terbarunya.  Ia memenuhi bidang kanvas dengan figur yang tampak tumpang tindih, tanpa landscape yang biasanya lebih besar dari figur, dan tampak jadi space figur walaupun figur tetap tampak tak menjejak tanah. Figur penuh bak tanpa pusat, menyebar (pada Rame Ing Gawe #2). Selain itu, di karya terbarunya ini, ada perubahan bentuk figur, yaitu tampak lebih deformatif, lebih tanpa karakter khusus (tanpa kostum “petani” yang biasanya dihadirkan), lebih anonim, dan lebih gemuk. Di sini, agaknya, bukan figur yang menempati space, seperti karya-karya sebelumnya, tapi figur yang mencipta space. Pendek kata, “yang Figural” itu agaknya dapat ditemukan lewat space, ruang perspektif, komposisi yang tercipta lewat figur. Figur Januri tampak bergerak ritmis, dan rapi. Kalau di musik klasik, ia mungkin seumpama Mozart.

Epilog

Barangkali, jejak “yang Figural” ini dapat kita rasakan saat kita melihatnya: ia memancing kita untuk melanjutkannya, entah dalam bentuk apa. Ia tak pernah berhenti pada pesan, dan tak selesai sebagai image.
Pameran ini bisa menjadi ruang eksperimentasi agar teks lebih imajinatif dan figur bisa mengatasi dirinya sendiri. Keduanya disandingkan agar mampu melihat batas masing-masing, dan pada gilirannya ‘batas’ itu bisa menjadi “ruang ketiga,” semacam zone of indiscernibility, zona ketika teks dan figur saling mengadakan, merasuk, menjadi: mereka ada pada momen tanpa dikotomi. 

Mei 02, 2012

The Monument of Nashar


Jakarta Post, Stanislaus Yangni, Contributor, Jakarta | Sun, 05/10/2009 12:47 PM


Launched at last month's opening of Nashar's memorial works - a solo painting exhibition - at the National Gallery, this heavyset book chronicles Nashar and his works.


Nashar (1928-1994), a distinguished Indonesian painter, has been overlooked amid burgeoning contemporary Indonesian art. Ideally, there should be an Indonesian modern art museum to display artworks created by Indonesian artists, especially those who contributed to Indonesian art history.


Without such a museum, small wonder Nashar's works were forgotten. In this view, Elegy in Art - On Nashar and His Paintings has this particular value, whatever its publishing background. The book is a "portable museum", with commentary about the artist and his works.


Today, Nashar's price appears to be higher in some auction houses, for example Borobudur, Masterpiece, and Heritage. Rumour has it the exhibition and the newly-published book are merely a tactic to inflate the value of Nashar's paintings. However, this analysis doesn't affect people being able to use this book for practical information on Nashar and his works.


Nashar, born in Parimanan, West Sumatra, had painted abstract, non-figurative paintings since 1977. Most of the pictures in this book are taken from Hendro Tan's wife's collection.
Emmy, Tan's wife, was a huge fan of Nashar's works. On the other hand, some figurative artworks are also included. The figurative style demonstrates Nashar's basic view on art: he looks beyond illustration, and into the essence.


Goenawan Mohamad, one of the writers, commented on Nashar's painting as "austere and candid, simple without any redecoration." Similar style could also be found in his abstract works: "na*ve" shapes and natural colours, without any pretention to decorate.


Ajip Rosidi, one of Indonesia's poets, friend of Nashar, and collector of his paintings, said Nashar would "sacrifice everything for his art: "worldly pleasures, his family life.."
But, such intensive painting is not the only one reason his works gained recognition in the Indonesian arts realm. His works were based on his profound contemplation and reflection.


Nashar was also a writer. He wrote about anything that was relevant to art and life. His writings took form as a journal, or a letter to someone - whom he always addressed as kawan (buddy).
A painter who writes about his thoughts and opinions about painting is very rare. Nashar's writing could be reflected as the artist's restlessness thinking about creativity and art activities. The writings were published in Surat-surat Malam (1976).


This anthology dedicated to Oey Emmy Christina (the late wife of collector Hendro Tan) is edited by Agus Dermawan T., an Indonesian arts writer. Agus Dermawan selected 12 articles by 12 writers from 130 articles about Nashar, which he collected from various newspapers, magazines, and Nashar's exhibition catalogues.


The articles were then categorized into three chapters. First chapter presents articles from Popo Iskandar, Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Maruli Tobing and the late Ray Rizal. Their writings enlightened readers about Nashar's place in the history of Indonesian modern art.


In the next chapter, Bambang Bujono, late Baharuddin M. S., late Sudarmaji dan Efix Mulyadi, specifically reviewed Nashar's artworks. All these reviews were published between 1973 and 1991. The editor claimed the chapter described Nashar's existence as an artist and the development of his paintings over time.


The last chapter presents notes from Nashar's close friends. Ajip Rosidi, Moeljanto D. S., and the editor, Agus Dermawan.


They write more personally about the artist who dedicated his whole life to painting. The three articles were published in the same year, 1994, the year of Nashar's death.


Ajip Rosidi provided the most comprehensive account of Nashar's life: a very determined person. Forbidden by his parents to paint, he in fact left everything he had only for one thing: painting. When Sudjojono, the "father" of Indonesian modern art, claimed Nashar didn't have any talent, Nashar kept painting. He didn't care about what people said. How could he? According to Putu Wijaya, a theater activist, Nashar said, if Sudjojono's claim was right, what he had to do was to break the boundaries between "talented" and "not talented."


Something that would make the book even more complete is other writings from the present. Now Indonesian art encompasses more than merely paintings and sculptures and graphic arts, but also installation arts, new media arts, video arts, and many others. In short, a freshly written piece considering the latest art approach to Nashar is needed.


The Nashar we find in this book is Nashar as a memorial monument. A Nashar that lives merely as a memory, not the Nashar whose paintings are still featured in several exhibitions and several auction houses.


However, this impressive-looking book, with hardcover-binding, full-colour pages and decorated with writings from famous names the likes of Goenawan Mohamad, Ajip Rosidi, and Putu Wijaya, offers no novelty.


It feels like it was published years ago. In this book, analysis and discourse about Nashar in the middle of postmodernism art is absent. It would feel different if the book was dated, say, in 1995.


Elegi Artistik Tentang Nashar dan Lukisan-Lukisannya (Bilingual)
Agus Dermawan T. (editor)
Indonesian Fine Art Lovers Association (ASPI), 2009
330 pages

Agathos, The Invisible Gwen

catatan pendamping pameran Andre Tanama, Agathos, Langgeng Gallery, April 2012





1/prolog

Sewon, sekitar pertengahan Februari 2012. Matahari bak menembus ubun-ubun kepala saat saya sedang mencoba menerka kedatangan Andre dari menjemput anaknya di sekolah. Seperti pada umumnya orang yang baru pertama kali menunggu seseorang yang baru kali ini akan ditemuinya, saya mencoba mengingat-ingat dan membayangkan seperti apa rautnya.
Raut wajah Andre yang saya ingat dari foto di beberapa katalog pameran – walau saya yakin sosok sebenarnya tak mungkin persis seperti dalam foto - adalah raut wajah serupa salah seorang teman lama saya yang kini entah di mana. Namun, saat bertemu dengan Andre sungguhan, gambaran mengenai wajah teman saya itu buyar. Ya, mungkin memang wajah itu wajah serupa teman saya, namun saya tak lagi bisa membayangkan wajah teman saya justru saat saya bertemu sungguhan dengan sosok Andre. Sejak saat itu, saya berhenti mengasosiasikan wajah Andre dengan teman saya. Andre yang ada di depan saya ya Andre, sosok kurus berambut panjang dengan tatto di sekujur badannya.
Rumah Andre terletak di depan taman dalam sebuah kompleks perumahan. Rumah mungil itu kadangkala difungsikan sebagai studio untuk karya dua dimensi. Di sana ada jejeran kanvas besar-besar karya work in progress nya, dan pada beberapa sisi dindingnya, terpampang foto-foto keluarga. Namun ada yang langsung menghentikan mata saya ketika masuk agak ke dalam. Di dekat dapur mininya, ada rak buku yang isinya nyaris menggoda saya meminjamnya. Cukup banyak buku referensi seni rupa yang jika di perpustakaan, hanya boleh dibaca di tempat, tidak boleh dibawa pulang. Lalu, ketika kami mulai duduk mengobrol, ditemani Ilen yang sedang asik dengan botol susunya, saya baru memperhatikan bahwa tatto di sekujur tubuh Andre itu ternyata berpola persis seperti kaos oblong yang lehernya cekung, agak rendah, melengkung. Kaos oblong kain putih tipis Swan Brand. Kalau pun Andre melepas kaosnya, saya yakin ia seperti memakai kaos lain berwarna warni di kulitnya.
Hanya sekali itu kami bertemu. Bagi saya, pertemuan itu berkesan karena sebelumnya saya tidak pernah mengenal Andre secara personal. Saya bukan teman lama Andre. Bahkan, di dunia pameran seni rupa, saya juga baru kali ini menulis untuk Andre. Namun saya senang karena mulai saat itu, saya merasa punya teman sekaligus narasumber untuk bertanya mengenai teknik dalam seni grafis yang bagi saya masih asing dan selama ini sangat ingin saya ketahui. 
Kami berbincang dalam waktu yang sangat singkat. Tapi agaknya yang “sebentar” itu justru yang menarik – karena biasanya, atau kadang-kadang, ‘yang sebentar’ itu meninggalkan banyak tanya, mendorong kita untuk mulai mencari, lalu menulis. Tapi mungkin ini kelemahan saya, atau mungkin juga sekaligus menjadi keuntungan saya karena dengan “modal” ‘yang sebentar’ itu, saya bisa berharap tulisan ini cukup obyektif untuk bisa dicerna oleh pembaca, khususnya yang berkeinginan untuk melihat sungguh karya Andre. Alasan ini saya ungkap sebagai prolog karena saya yakin bahwa suatu hari nanti, Andre, dengan kemampuan teknisnya yang sangat baik, bisa menghasilkan karya yang jauh lebih baik dari sekarang dengan hanya satu langkah nekat, pergi ke wilayah “sebelum nama Agathos.”



2/ pada mulanya adalah Khaos ...

Wilayah apa sebelum agathos diberi nama “Agathos”? Wilayah tak bertuan. Wilayah sebelum dogma, sebelum hukum, sebelum definisi. Wilayah khaos.
“Pada mulanya adalah Khaos, lalu muncul Gaia ...” kata Hesiod dalam Theogony nya. Demikian lah Khaos melahirkan Gaia. Ia menjadi embrio bagi Gaia, bagi kosmos, bagi tatanan. Dalam konteks tulisan ini, khaos tidak dibicarakan dalam konteks ‘kekosongan mutlak’ sebagai awal mula yang melahirkan Gaia (dunia, tatanan) seperti dijelaskan dalam mitologi Yunani, atau “creatio ex nihilo” ajaran Santo Agustinus. Kekosongan yang saya maksudkan di sini (dalam konteks proses berkarya) merupakan sebuah kondisi hasil dari runtuhnya ‘Yang Mapan’ untuk memunculkan sesuatu yang lain. Karena itu, saya ingat sebuah kisah menarik yang diceritakan Andre pada saya. Kisah ini mungkin yang paling menarik sehubungan dengan “lompatan” Andre: ia belajar melangkah ke wilayah ‘tak bertuan’ itu sampai kemudian muncul lah figur Wayang Monyong.
Sewaktu Andre kuliah di ISI Yogya, ada seorang dosen yang memintanya mencukil kayu/hardboard tanpa gambaran mengenai suatu obyek, atau rencana sama sekali. Di sini, Andre bak dipaksa melepaskan kaidah anatomis (‘Yang Mapan’) dalam menggambar, kontrol pikiran yang menguasai spontanitas tangan. Dia ‘diajari’ menjadi anak kecil yang dengan semaunya menggambar, misalnya, kucing, atau anjing dengan begitu spontannya – bak corat-coret anak-anak pra-sekolah. Andre dipaksa membuat gambar yang tak harus benar. Ini momen penting yang saya tangkap untuk membantu melepaskan ia dari ‘dogma gambar,’ alias hapalan-hapalan (gambar-gambar mapan) itu dalam kepalanya.
Demikian lah, “Kucing yang tanpa anatomi” itu membuat Andre didorong untuk berani pergi, melompat ke  wilayah “tak mapan.” Momen itu, mungkin pada awalnya, kedengaran seperti “bunuh diri” di telinga Andre yang notabene memiliki teknik cukil bisa dibilang mendekati sempurna dengan berbagai figur yang sudah ada dalam benaknya sejak lama – gambar-gambar yang dikatakannya sebagai “Romantisme syahdu dalam kisah Alkitab.”
Begitu lah Isa Almasih, pada saat itu, agaknya berhasil ‘diruntuhkan,’ dilampaui oleh Andre untuk melahirkan yang lain, yaitu Wayang Monyong. Figur yang satu ini, menurut Andre, tercipta dari problem konkret kehidupan yang dialaminya. Cerita Andre mengenai “peralihan figur” itu mengantar saya berimajinasi mengenai wilayah sebelum agathos diberi nama “Agathos” itu. Dan kini, pergi ke mana Andre melalui anak kecil bernama Agathos itu?


3/ “Here come Agathos”

Ada kesan yang melekat di benak saya ketika pertama kali melihat karya Andre. Saya seperti sedang melihat gambar ilustrasi di buku komik anak-anak, citraan dalam film animasi, dan tatto. Terlebih kali ini. Sosok Agathos, sekilas, dengan ciri garis Andre yang cenderung rapi dan terkontrol, nampak seperti tokoh hero yg sering kita lihat di film-film animasi anak-anak, dan komik superhero Jepang. Aksi geraknya pun hampir sama: tendangan maut Agathos (dalam Kick), posisi kaki dan tangan yang tak asing kita lihat di komik silat zaman saya Sekolah Dasar, Pukulan Gledek, Tapak Sakti, dan Tiger Wong.
Tak hanya image karya yang menyerupai gambar ilustrasi pada komik silat, tapi juga kisahnya yang seperti ada dalam kisah mitologi: Agathos yang dilindungi naga melanjutkan pertarungan yang belum selesai, yaitu melawan Artopus, sang gurita raksasa (giant octopus). Kisah ini mengingatkan saya pada dongeng tentang Kraken, yaitu makhluk misterius raksasa berupa gurita, atau cumi-cumi, semacam penguasa lautan yang dijadikan simbol neraka (Hades), musuh dan ketakutan terbesar manusia.
Pada bagian prolog karya Andre, ada Gwen Silent yang didampingi Wayang Monyong sibuk melawan gurita berkaki enam (Artopus) untuk membebaskan babi badut dari lilitannya. Pertempuran berakhir seri. Setelah itu, Gwen menyepi, masuk box yang digambarkan di atas awan, bak sedang “diangkat ke Surga.” Lalu datang lah Agathos, melanjutkan perjuangan Gwen.
Gambaran Agathos sebagai hero tampak begitu paten. Ia selalu tampil bersama naga yang menjulur dari dalam tubuhnya, melingkari seluruh tubuhnya yang berkostum bak pahlawan di medan perang (Agathos #1). Lihat juga Here Come Agathos. Ia berdiri mematung, kepalanya agak menunduk, matanya memandang ke depan, sedikit melirik ke kiri, bak menyimpan dendam. Telinga dan matanya terbuka lebar. Bagi Andre, ini sisi berbeda dari Gwen Silent yang hadir dengan mata  tertutup, tanpa mulut, dan telinga terkunci. Ia juga berbeda dari Wayang Monyong yang sifatnya serupa Gwen, walau eksekusi piktorialnya jauh berbeda.
Namun, ada yang unik mendahului kedatangan Agathos, yaitu Taruwara. Taruwara adalah sosok yang digambarkan Andre sebagai anak laki-laki yang pemalu dan penakut. Namun, menurut Andre juga, sosok ini “Tiba-tiba disontleng kemunculannya oleh Agathos” yang berani dan penuh daya tarung. Peralihan (wilayah antara) Taruwara dan Agathos ini agaknya menarik. Ada kah kecemasan berhadapan dengan diri sendiri telah melahirkan Agathos sebagai suatu identitas? 
“Agathos adalah sisi emosional, negatif saya,” kata Andre. Kemudian ia melanjutkan, “Emosi yang dimaksudkan atas dasar karena aku ingin berbuat baik/penuh kasih.” Dari kata-kata Andre, saya membaca bahwa Agathos bak menjadi simbol dari “dorongan primitif,” “sisi kebinatangan,” semacam tanatos yang berkebalikan dengan dorongan hidup, eros Andre.
Namun, kalau Agathos menjadi tanatos Andre, dalam gambar, patung, juga lukisannya, saya melihat ada yang lain: senegatif apa pun Agathos, seagresif apa pun dia, Agathos tetap lah sosok pemuja kebaikan. “Yang Baik” (dari bahasa Yunani ti agathon) adalah tujuannya. Dan dalam konteks Andre, “Yang Baik” itu telah ditransformasikan ke dalam figur “Isa Almasih.” Mungkin karena itu anak kecil yang dikatakan Andre sebagai sosok ‘penyeimbang Gwen’ ini dinamai Agathos – dia membawa “pesan damai” di balik peperangannya. Dan mungkin karena itu juga, maka di hampir seluruh karya Andre, terlihat bahwa segarang apa pun naga yang keluar dari tubuh Agathos, sesangar apa pun tatapan matanya yang penuh dendam, ia tetap nampak anak manis yang selalu punya mimpi tentang kebaikan, suatu Gwen yang menjelma Agathos.
Kendati Agathos memiliki telinga dan mata lebar, ia bisa jadi tampil sebagai titik ekstrim dari “silent”nya Gwen. Pendek kata, Agathos lah sisi “pertahanan diri” (resistensi) Gwen. Ada kemungkinan, sisi ekstrim dari silent ini berupa “diam yang melawan,” atau “melawan dengan diam,” sebuah kemarahan, dendam (resentment). Karena itu, Agathos bisa hadir dalam figur Gwen yang menahan perih dengan mengelus dada sambil menggenggam hati berdarah (seperti imaji Hati Kudus Yesus) di tangannya (Gwen in the Box). Agathos di sini seperti sedang menyerahkan diri, mengatakan “Aku rela memanggul salibMu,” suatu bentuk perlawanan dengan diam -  dan mungkin bukan kebetulan, dalam Kristiani, ada ajaran “melawan dengan kasih.”
Agathos juga bisa hadir hanya lewat matanya. Dalam Agathos #1 kita melihat anak kecil yang memandang diam, agak menunduk, menantang, tapi menahan diri, seperti sedang menghimpun kekuatan. Sebuah diam yang resisten. Ada keraguan yang seakan tak terpecahkan, tapi ia tetap menyimpan kekuatan untuk melawan. Ia seperti sedang mengatakan “Tunggu saatnya!” atau “Veni, vidi, vici” (Saya datang, saya melihat, saya menang).
Agathos agaknya tak hanya melawan sosok yang ada di luar (Gurita Artopus), juga apa yang mendekam dalam dirinya. Karya Fearless, misalnya, yang tampil agak lain dari yang lain karena Agathos, yang selalu dibela naga, di sini melawan naga yang keluar dari dirinya sendiri, seperti sedang berusaha melampaui dirinya sendiri.


4/ “pesan damai” Andre

“Yang Baik” itu universal sifatnya. Mungkin itu pesan yang ingin disampaikan Andre lewat karya-karyanya. Kendati pun eksekusi piktorialnya belum tampak habis-habisan, namun, pesan mengenai “berbuat baik” untuk menuju “Yang Baik” – sebuah aspek spiritualitas yang melampaui agama itu -  sudah mulai digemakan.
Dalam konteks ini, kendati karakter Agathos dan Gwen berbeda, namun keduanya membawa pesan yang sama, pesan kebaikan. Pendek kata, keduanya ada dalam bahasa yang sama: Isa. Mungkin pesan ini dibumbui dengan sedikit kritik untuk dunia seni rupa melalui adegan Gurita Artopus yang salah satu tentakelnya melilit buku ART NOW.
Corak naratif-representasional menjadi jalan yang dipilih Andre untuk menampilkan “sesuatu yang diberi nama Kebaikan” itu. Karena itu tak sulit bagi kita mengenali ikon apa yang tersaji. Deburan ombak tempat Agathos muncul dengan naga-nya, pada Agathos Ombak, nampak sangat akrab di mata kita. Image itu seperti ombak besar di pantai Kanagawa, suatu karya cukil Jepang, Ukiyo-e, yang sangat terkenal.
Begitu pula ikon hero dengan mudah dikenali melalui karakter rambut jabrik Agathos yang berbongkah-bongkah bak karang tajam seperti para tokoh di komik superhero Manga, misalnya Dragon Ball, juga alis tebal dan mata lebarnya.
Dalam eksekusi visual Andre, harmoni – yang di sini bisa berarti nyaman dipandang - agaknya menjadi unsur penting berkaitan dengan agathos itu. Karya patungnya, misalnya dengan bahan resin/fiberglass, dan finishing berkarakter glossy menghadirkan efek mulus, halus, mengkilap bak representasi dari keindahan zaman klasik, juga warna putih mutiara yang menghadirkan kesan simpel, klasik, elegan. Alhasil, tampak suatu keindahan yang “ada di sana,” bak tak tersentuh. Agaknya, ini menegaskan pernyataan Andre, “Setiap karya seni adalah visualisasi dari rahmat Tuhan.”
Maka, agaknya, menilik aspek piktorialnya, Agathos (juga Gwen) menampakkan rohnya semula, suatu kekuatan atas pegangan yang diyakininya, semangat mencari identitas yang sesuai dengan apa yang dikatakan Andre, “Aku bukan orang yang religius, tapi aku suka yang membuat aku damai.”



Stanislaus ‘sius’ Yangni

Ketika Garis Bicara



Telisik Potret Diri Affandi


Stanislaus Yangni


Jogja, 1946. Pada salah satu catatan tulisan tangannya, Affandi menceritakan pengalamannya melukis: “Pernah terjadi, bahwa saya beberapa bulan tidak bisa melukis, walaupun tiap pagi saya pergi tuk melukis. Pada suatu hari saya pulang ke rumah dengan tangan hampa, tidak dapat lukisan. Merasa marah dan dongkol, sekonyong saya lihat dalam kaca muka saya sendiri dengan ekspresi dongkol ini. Dalam waktu itu juga lukisan dibikin. Aneh, berbulan-bulan tidak dapat motif, sekonyong motif dekat sekali, muka sendiri.”
Pendek kata, ketika menemui jalan buntu, wajah dirinya, bagi Affandi (1907-1990), pelukis kelahiran Cirebon, yang selama ini dikatakan beraliran ekspresionisme, “a new way of expressionism,” kata kritikus seni Herbert Read, tetap dapat memberi inspirasi – motif paling dekat yang sering tak disadari adalah wajahnya sendiri.
Uniknya, setelah gagal melukis, Affandi sering kali membuat potret dirinya – ia sendiri mengaku bahwa potret-potret dirinya dibuat ketika ia merasa sedih, muram, kecewa, marah, dongkol, dan sebagainya. Self portrait-nya seakan-akan mengatakan: Affandi melihat dirinya yang sedang melihat dirinya yang (saat itu) merasa gagal.
Agaknya, momen gagal ini, bagi Affandi, merupakan kondisi paling “manusiawi” –  rasa berada di ambang berdaya dan tak berdaya, rasio dan emosi – ada tarik menarik antara, meminjam istilah Freud, eros dan tanatos. Berhadapan dengan potret diri nya itu, Affandi seakan berhadapan dengan kecemasannya yang paling personal: kecemasan jika ia tak bisa atau tak mampu lagi melukis. Affandi lebih baik mati jika tidak dapat melukis lagi, karena baginya, seperti kata Nashar, “Melukis itu seperti makan.”
Maka, ada Potret Diri Setelah Gagal Melukis (1981). Affandi yang merasa gagal melukis tampak ‘padam,’ kecewa, dan marah. Di sana warna merah (garis lengkung merah lebar) bak berasal dari usapan tangan, tampak mendominasi seluruh wajah membentuk ekspresinya. Garis kuning pipih memberi aksen kontur wajah, tapi tak hanya segaris. Garis kuning berulang, berlapis bak memberi penekanan pada raut Affandi. Sementara itu, garis hijau kehitaman nampak berfungsi sebagai ‘outline’ rangka wajah utama (mengitari wilayah mata, hidung dan mulut), sedangkan garis putih (helai rambut Affandi), tipis, lentur, jarang, bak melayang di luar kontrol itu, seperti menjadi aksen - agaknya berfungsi ‘mendampingi’ kuning memperkuat suasana cemas Affandi.
Karena itulah, setiap melukis, Affandi selalu tampak berkejaran dengan waktu. Ia berusaha menangkap mood, yang dalam istilah Affandi, gelora, vitalitas, Harstocht – hal yang harus ada ketika ia melukis. Affandi jelas tak rela jika mood itu hilang, atau jika tenaganya habis saat mood, atau kegemasannya itu masih ada. Itu akan membuat Affandi merasa sangat kecewa. Jadi, apa pun latar peristiwanya saat itu, yang kita lihat dalam potret diri tak sebatas peristiwanya, melainkan tegangan, intensitas emosi yang muncul pada wajah Affandi lewat tarikan garisnya.
Maka, self portrait, salah satu tema pokok karya Affandi, selain merupakan bentuk eksplorasi diri, semacam refleksi kehidupan seniman, juga eksperimen, disadari atau tidak, mengenai garis.


Otonomi Garis

Garis memegang peran penting dalam lukisan Affandi. Garis lengkungnya terinspirasi pada wayang kulit yang digemarinya sejak ia masih kanak-kanak.
Di kemudian hari, garis lengkung wayang kulit ini dieksplorasinya habis-habisan melalui pelototan cat. Teknik ini ditemukannya pada 1942 ketika suatu kali ia sedang melukis sebuah keluarga, dan kehilangan pensil kecil untuk membuat garis. Karena dicari pensil itu tak ketemu, ia jengkel, mood melukisnya terganggu. Maka, dipelototkanlah cat langsung dari tube ke atas kanas, hasilnya, ia suka efeknya. Lebih ekspresif. Namun pelototan cat ini baru banyak digunakannya pada 1960an, sampai akhir hayatnya. Pelototan langsung itu juga membuat Affandi merasa menyatu dengan kanvas.
Di atas 1980an, karya Affandi konon dikatakan sebagian besar orang sebagai yang sudah melemah, kehilangan energi.
Walau ada benarnya, pendapat tersebut agaknya tak bisa serta-merta diterapkan pada karya potret diri Affandi era tua ini. Alasannya, menilik potret-potret dirinya di era usia lanjut, dari segi penampakan garis, nampak garis pelototannya makin mandiri – dalam arti garis menjadi otonom, lebih kuat tidak dalam arti tekanan karena tenaga fisik Affandi, melainkan garis yang bisa dikatakan tak lagi terikat pada bentuk. Pendek kata, garis yang secara akademis dipahami sebagai garis kontur (garis terluar obyek tertentu), garis outline (garis tepi bidang), atau garis sebagai border (garis batas antara obyek dengan latar belakangnya), tak lagi berlaku pada Affandi.
Periode 1980 sampai dengan meninggalnya, potret diri Affandi ditandai oleh garis-garis menipis, melemah, mengambang, tampak tak lagi tebal, juga tak tegas. Tube seakan-akan tak penuh bisa ditekan di atas kanvas, dan tekanan pencetan tangan pun tak seajeg era sebelumnya. Lihat garis panjang lengkung bergelombang, separuh keriting, mengambang, tak paten melekat pada ‘garis wajah’ pada Potret Diri (1981). Affandi di era lanjut, dengan sisa-sisa tenaganya, ternyata menghasilkan semacam ‘gradasi’ garis – ada yang tebal, pendek, dan bak berhenti, ada yang panjang, terurai, tipis, tak terarah, tapi bak tak ada putusnya.
Ini menarik. Kalau dirunut secara fisik, hal ini jelas karena tenaga Affandi melemah di waktu ia tua, terlebih pula ia mulai sakit-sakitan. Namun, melihat sisi visualitas garis sebagai garis, aspek elementer dalam seni rupa dan sisi artistik lukisan, jenis garis ‘era tua’ ini agaknya menghadirkan ekspresi lain: tipis, cair, fleksibel, dinamis, plastis, dan liris bak menampakkan kekuatan kemanusiaan yang sedikit bergeser, tak segarang yang lama, namun memiliki intensitas empati yang bisa dikatakan sepadan.
Affandi, lewat garis lengkungnya yang, mungkin istilah saya, “separuh patah dan gemetar,” atau “separuh keriting dan tak beraturan” memiliki kekuatan menghadirkan lekuk, volume, juga  bidang. Nampaknya, di sini lekuk bahkan menjadi hasil (efek) dari perjumpaan energi para (pelototan) garis.
Lihat, misalnya, Potret Diri Bathuk Mripat (1982), salah satu karya era 80an yang tampak masih sangat kuat tekanan garisnya. Cekungan, dekokan, atau lekukan hidung bak terbentuk dari perjumpaan kekuatan, atau tegangan antara garis hitam pendek lengkung yang menimpa usapan merah (terletak di bawah garis kuning) dengan garis kuning yang lebih tipis dari hitam (di atas hitam).
Bandingkan, misalnya dengan Self Portrait (1964). Di sana terlihat garis yang masih nampak ‘patuh’ pada bentuk, belum mandiri sebagai garis. Garis oker-hitam tampak menjadi garis kontur luar wajah Affandi, garis putih patah-patah bak menegaskan tulang hidung, sedangkan garis hitam bak diulang membentuk lubang hidung sampai ke tepian bentuk bibir.
Lihat pula perbandingan antara Self Portrait Eating Watermelon (1962) dan Potret Diri (1983) yang sama-sama bergambar Affandi sedang makan semangka. Perbedaan paling kentara pada warna: 1962 warna lebih tebal, garis lebih tampak ‘dikendalikan’ oleh tekanan tangan, sementara pada 1983 nampak warna lebih tipis, menuju krem, terang, dan garis berjalan sendirinya. Dengan kata lain, garis, yang pada umumnya menjadi kontur tubuh, sekaligus batas (border, kontur luar) antara tubuh Affandi dan latar belakang, tampak pecah - seakan Affandi sendiri dengan latar belakangnya menyatu. Lalu apa yang menjadi pembeda antara Affandi dan latarnya? Lapisan garis: garis kuning, garis putih, dan sebagainya yang saling berjumpa, tumpang tindih, repetitif. Itu lah ritme garis, gerak otonom garis yang melahirkan fungsi baru: garis melahirkan dimensi lain, ada bayangan, kedalaman, dan volume.
Otonomi garis itu tak bisa dilepaskan dari kemampuan Affandi memunculkan garis sebagai garis. Affandi bak menangkap semacam garis pokok yang tak kelihatan namun menjadi pusat gerak, suatu kekuatan yang tidak kelihatan dari garis itu sendiri, seperti yang dikatakan Paul Klee, bahwa garis tak mengimitasi bentuk, melainkan “renders visible,” membuat garis berproses menjadi dirinya sendiri. Nampaknya, ini sedikit banyak bisa menjelaskan pernyataan Popo di bukunya, Affandi, Suatu Jalan Baru dalam Ekspresionisme (1977), bahwa “Affandi telah memberikan suatu perkembangan baru pada seni lukis: unsur garis yang merupakan pernyataan yang berdiri sendiri, sekaligus menggantikan peranan bidang volume dan juga ruang dalam lukisan konsepsi akademis.”
Karena kemandirian garis ini lah, sebetulnya, kalau kita amati lebih jauh, garis Affandi di era lanjut ini masih tampak kuat. Agaknya, garis Affandi dianggap melemah karena terlihat tak lagi bertekanan besar tebal, keras, dan tak lagi berbentuk. Sebaliknya, kalau kita amati, eksistensi garis menguat seiring ia dibebaskan dari bentuk, misalnya Potret Diri (1988) di mana pelototan kuning pendek-pendek bertekanan cukup kuat terlihat menonjol di keseluruhan gambar – dan agaknya ini tak sesederhana kakek yang sudah tua rapuh lemah dan sakit-sakitan.
Karena itu, kata-kata Sanento pada Affandi sebagai “kakek yang tetap muda” mungkin bisa dipahami dalam dua arti, pertama, eksistensi garis yang menguat di era lanjut, dan kedua, semangat Affandi tak berubah: meningkatnya kecemasan atas tenaga yang melemah ternyata berbanding lurus dengan daya melukisnya. Semakin ia lanjut usia, menyadari kematian mengejarnya, ia merasa terburu waktu untuk melukis, “Siapa tahu besok saya mati, saya harus terus melukis dan melukis dan melukis.”
Karena itu, “New way” yang dikatakan Herbert Read itu mungkin tak hanya bisa disebut ‘baru’ karena pelototan cat yang langsung dari tube itu khas Affandi, melainkan sebagai suatu cara pandang berbeda mengenai garis itu sendiri: garis tak lagi diperlakukan dengan ukuran saintifik. Singkatnya, “New way” di sini, terutama bagi siapa pun yang membicarakan seni, bisa menjadi “cara baru memahami” ekspresionisme – tak sekadar suatu aliran “ekspresionisme baru.” Lewat potret-potret  dirinya, Affandi seakan menunjukkan pada kita semacam ‘bahasa garis,’ suatu cara mengatakan kemanusiaan melalui garis.