Figur dalam karya Putu anonim. Mereka adalah suatu kumpulan atau komunitas orang yang terkesan homogen. Mereka dilepaskan dari segala atribut, mereka telanjang.
Inilah Hope Waving karya instalasi Putu Sutawijaya. Figur-figur yang menari di udara, beberapa patung dengan media baja dan kawat. Patung pertama, Code, figur yang berdiri, kedua tangan di atas, jari-jari terbuka nyaris bersentuhan. Patung kedua, Defiance, figur berdiri dengan tumit terangkat, tubuh condong ke belakang, wajah menengadah, tangan terulur ke depan wajah, jari-jari terbuka seperti menangkap sesuatu, menunggu, atau memegang sesuatu. Patung ketiga dan keempat, Be Alive I dan Be Alive II, figur menari, memegang topeng Barong, mengangkatnya ke atas dan ke depan. Kaki diangkat, wajah tengadah, dan tubuh sedikit melengkung, satu ke depan satu ke belakang. Lainnya, Challenge (2008) adalah figur berdiri dengan satu kaki, sedangkan kaki satu lagi, kiri diangkat terlipat, tinggi. Tangan kanan terentang ke samping, telapak tangan ditekuk ke atas, jari-jari membuka. Tangan kiri juga terangkat, posisi telapak dan jari tangan sama dengan tangan yang kanan.
Patung-patung itu, figur-figur dalam karya Putu, terkesan tak bisa dilepaskan dari gerak. Gerakan apa yang sedang ditampilkan? Tidak terdefinisi. Gerak tanpa nama. Sebagian gerak tari, hampir seluruhnya “gerak hidup.” Gerak di situ memang untuk sesuatu yang lebih besar daripada sekadar menari. Mungkin gerak pemujaan, gerak yang terkait dengan upacara agama. Dan konon demikianlah pada awalnya tari Bali: bukan sekadar tarian melainkan berkaitan dengan religi, pemujaan untuk Hyang Widi. Ini mengingatkan pada “gerak hidup” alami, misalnya gerak sperma yang mencari indung telur, atau gerak meregang ketika seseorang melepaskan nyawa.
Pendeknya, kumpulan figur itu bergerak, melainkan bukan menggambarkan aktivitas sehari-hari yang bertujuan praktis seperti berlari, makan, minum, tidur, dan sebagainya. Gerak kumpulan atau komunitas itu tak berkaitan dengan kepraktisan hidup sehari-hari, karena itu mereka tak mengenakan embel-embel apa pun. Kalau toh ada, itu sungguh tak berarti. Posisi-posisi tubuh dalam gerak itu menunjukkan bahwa figur tak sedang melakukan gerak praktis, melainkan lebih terkesan gerak menyatu dengan alam.
Posisi dalam gerak itu sangat beragam. Mendorong, melepas, melangkah, menggapai, mengangkat, memegang, menunduk, juga posisi berkacak pinggang dan berlari. Mereka juga seperti sedang memanjat sesuatu, meniti, menapaki, merangkaki, dan sebagainya, tanpa obyek tertentu yang menjadi “pegangannya.” Dengan kata lain, ketika posisi salah satu figur merangkak atau mengangkat, belum tentu, atau malah tidak ada sama sekali, sesuatu atau obyek untuk diangkat atau ‘dirangkaki’ itu. Kalaupun ada, tidak jauh dari nuansa pegunungan, tebing, pepohonan dan bulan. Alam. Kesunyian, spiritual. Gerak figur-figur anonim tersebut selalu terjadi di alam luas tanpa batas.
Figur-figur itu, sendiri atau berkelompok, semuanya anonim dan telanjang. Mereka juga tak berwajah. Tubuh-tubuh manusia dalam karya Putu memang hampir semuanya tak berwajah, tak beridentitas. Mereka menunduk, rambutnya turun menutupi wajah. Mereka, dalam patung-patung Putu, juga instalasinya, tidak hanya faceless, sekumpulan sosok anonim, massal, tidak teridentifikasi secara individual, tapi juga facelessness, tak berwajah. Sepertinya, lewat ketiadaan elemen wajah dan atribut itu, Putu lebih ingin melahirkan gerak, gerak itu sendiri, gerak “manusia,” bukan gerak individu.
Menyatu Dengan Alam
Relasi antara figur-figur itu dengan alam dimunculkan dalam Lukisan Grow (2008), salah satunya. Sejumlah pohon dan sejumlah manusia. Di dekat masing-masing manusia yang letaknya menyebar, ada pohon. Manusia dan pohon mengadakan relasi. Relasi itu menghasilkan gerak, menghasilkan bahasa yang bukan kata. Bahasa tubuh. Di dekat pohon, sosok-sosok itu ada yang berkacak pinggang, hanya berdiri, menyentuh ujung daunnya, membungkuk, menengadah ke atas, meliukkan badannya ke belakang, ke samping, berlutut, dan sebagainya. Mungkin itulah bentuk komunikasi antara manusia dan pohon. Komunikasi lewat gerak, apa pun bentuk geraknya.
Demikian juga dalam Not the Last Tree (2008). Beberapa sosok manusia di bawah sebuah pohon besar. Di sekitar mereka tampak sisa-sisa batang pohon bekas ditebang. Hanya pohon besar tempat mereka berada yang belum terkena pemotongan. Sosok-sosok itu ada yang sedang duduk bersantai, berjongkok dengan kepala menunduk, berdiri berkacak pinggang sambil menengadah melihat pohon, berdiri memegang payung dan melongok ke daun-daun yang masih rimbun, dan beberapa posisi lain. Nampaknya tidak ada interaksi yang muncul di antara sosok-sosok tanpa identitas itu. Masing-masing lebih terkesan sedang merasakan rimbunnya pohon saat itu, merasakan dirinya terlindungi dari sengat matahari. Sebagian yang lain mungkin berpikir tentang nasib pohon itu. Masing-masing dari mereka mungkin bersedih atau menyesal karena sadar bahwa pohon yang mereka lihat adalah pohon satu-satunya yang nampak di daerah itu, lalu berharap bahwa itu bukan pohon terakhir. Tatapan dan ekspresi tubuh mereka seakan menyiratkan, mereka sedang bertanya, berharap pada sang pohon.
Merayakan Hidup
Dalam “gerak hidup,” ada usaha untuk mencapai sesuatu. Sesuatu yang tidak hanya dipahami sebagai obyek. Sesuatu itu lebih pada apa yang tak ternamai. Never Truly On Top (2008), sekelompok manusia berusaha memanjat sebuah tebing. Dengan posisinya masing-masing, tidak ada yang sama, mereka naik. Ada satu sosok yang berdiri, berkacak pinggang di atas, sementara sosok lainnya berusaha mencapainya. Posisi tubuh mereka pun berbeda-beda, ada yang memanjat, meraih, merayap, juga merangkak. Terasa bahwa merekat akan sampai di puncak. Kumpulan figur manusia itu seperti berlomba untuk mencapainya, tapi tak pernah akan sampai. Lukisan itu, agaknya, menceritakan tentang keterbatasan dan ketidakterbatasan. Puncak, atau apa pun yang akan dicapai, yang akhir, itu tak ternamai, tak berbentuk, bukan obyek. Mungkin lenih tepat bukan puncak itu yang akan dicapai, melainkan “rasa” sampai di puncak. Apa yang disebut akhir, yang paling atas, bisa jadi adalah ilusi manusia atas yang tak terbatas. Sampai di “puncak” adalah kesadaran bahwa tubuh itu keterbatasan. Keterbatasan disadari ketika ketidakterbatasan dihayati.
Gerak selalu berkaitan dengan keberadaan energi. Dalam gerak, figur-figur itu seperti sedang menimba energi, menyadari keberadaannya. Lihat misalnya, Spirit From Somewhere (2008), Matahari ke Matahati (2007). Mereka juga melepaskan energi, Energi Tunggal (2001), mengamini “energi lain,” yang hadir di sekitar tubuh, Grafity to Bring Me Down (2008) dan Di Antara (2007), juga menggunakan energi, misalnya dalam Tanpa Perlawanan I (2003-2007) dan Looking for Wings II (2002). Figur-figur Putu merangkak, menghempas, menari, mencari, menyentuh, mendorong, mengejar, juga mabuk dan terjungkal. Dalam Looking for Wings, sembari memegang gelas anggur figur bersayap tanpa nama itu berpesta. Gerak adalah perayaan, pesta kehidupan. Ritual. Bergerak, menari, bukan untuk siapa pun, bukan untuk apa pun. Gerak adalah demi hidup, sebuah keniscayaan. Hidup adalah gerak, nafas, desire menuju entah apa.
Do Not Know How To Stop (2008) dan Dancing in the Full Moon (2008), dua buah instalasi dari resin dan baja, menampilkan figur-figur bening sedang berusaha mencapai atau menyerap sesuatu. Dalam Do Not Know How To Stop, figur-figur itu memanjat karena memiliki hasrat untuk tahu, hasrat untuk memiliki, hasrat untuk dipahami. Mereka tidak tahu kapan dan bagaimana harus berhenti. Ada situasi-situasi semacam keterasingan, keterpisahan, dan ketidakyakinan dalam diri mereka ketika berhadapan dengan alam. Dancing in the Full Moon adalah kerumunan figur yang membentuk bola, masing-masing melakukan “ritual geraknya” sendiri, menghidupi cahaya bulan dan malam. Lalu Cinta Dalam Purnama (2005), antara lain, adalah mencari “sesuatu yang lain” yang bisa meyakinkan figur-figur itu atas keberadaannya.
Selain figur berkelompok, beberapa lukisan Putu sarat dengan nuansa kesendirian. Mungkin, ekspresi ini sebenarnya yang pokok. Agaknya, ada pesan yang lebih penting dalam “tubuh-tubuh yang sendiri” itu. Kalaupun figur-figur dalam sebagian besar karya Putu berkelompok, mereka sebenarnya berjalan sendiri-sendiri. Jika didapati sekelompok orang sedang melakukan sesuatu bersama, misalnya dalam Loneliness Without Boundaries (2008), barisan orang sedang duduk, seperti sedang melakukan ibadah, atau Merapi (2006), gerombolan orang yang menuju ke arah sama, bergerak dengan posisi yang nyaris sama, seperti sedang mendorong sesuatu, itu karena manusia memiliki kecenderungan tertentu yang sama. Masing-masing memiliki gerak, suara dan posisinya. Mereka melakukan “ritual’nya sendiri. Karena itu, figur-figur Putu tidak bisa begitu saja dikategorikan sebagai “tubuh sosial” dengan alasan bergerombol, berkerumun, atau berkelompok. “Gerak hidup” setiap sosok bisa dikatakan sebagai “cara mengada,” cara hidup khas manusia, sendiri ataupun dengan manusia lain.
Selain Energi Tunggal, tema-tema kesendirian ini muncul dalam Sendiri (1998), seorang laki-laki seperti baru saja terjatuh, terkapar. Kepalanya menunduk, rambutnya menutupi wajah, tangan terentang ke samping. Juga Masih Banyak Kursi Kosong (2004), Terbebas Dari Dinding Hitam (1999) dan Terjepit (1998).
Pada kanvas, garis dan bidang Putu terkesan cair, mudah membentuk imaji gerak. Warna terkesan transparan, hingga antara kumpulan figur dan alam latar belakang merupakan kesatuan yang membentuk energi. Lewat gerak, anonimitas dan ketelanjangan, energi tersebut dinyatakan. Alam, dalam hal ini, tidak menjadi “Yang Lain,” melainkan “yang lain,” yang intim, bisa berkomunikasi.
Karya-karya Putu Sutawijaya yang dipamerkan di Galeri Nasional di bawah judul The Legacy of Sagacity, 20 November sampai dengan 30 November 2008 itu, adalah karya-karya yang dikerjakannya sejak 1998. Dalam pameran itu ada sekitar enam karya lukis terbarunya, empat instalasi dan patung-patung metal. Dalam rangkaian pameran ini juga diadakan peluncuran buku tentang Putu, 27 November 2008, tepat tiga puluh delapan tahun setelah hari kelahiran Putu di Angseri, Tabanan, Bali.. Buku itu ditulis oleh Jim Supangkat, yang juga mengkuratori pameran ini.
Inilah Hope Waving karya instalasi Putu Sutawijaya. Figur-figur yang menari di udara, beberapa patung dengan media baja dan kawat. Patung pertama, Code, figur yang berdiri, kedua tangan di atas, jari-jari terbuka nyaris bersentuhan. Patung kedua, Defiance, figur berdiri dengan tumit terangkat, tubuh condong ke belakang, wajah menengadah, tangan terulur ke depan wajah, jari-jari terbuka seperti menangkap sesuatu, menunggu, atau memegang sesuatu. Patung ketiga dan keempat, Be Alive I dan Be Alive II, figur menari, memegang topeng Barong, mengangkatnya ke atas dan ke depan. Kaki diangkat, wajah tengadah, dan tubuh sedikit melengkung, satu ke depan satu ke belakang. Lainnya, Challenge (2008) adalah figur berdiri dengan satu kaki, sedangkan kaki satu lagi, kiri diangkat terlipat, tinggi. Tangan kanan terentang ke samping, telapak tangan ditekuk ke atas, jari-jari membuka. Tangan kiri juga terangkat, posisi telapak dan jari tangan sama dengan tangan yang kanan.
Patung-patung itu, figur-figur dalam karya Putu, terkesan tak bisa dilepaskan dari gerak. Gerakan apa yang sedang ditampilkan? Tidak terdefinisi. Gerak tanpa nama. Sebagian gerak tari, hampir seluruhnya “gerak hidup.” Gerak di situ memang untuk sesuatu yang lebih besar daripada sekadar menari. Mungkin gerak pemujaan, gerak yang terkait dengan upacara agama. Dan konon demikianlah pada awalnya tari Bali: bukan sekadar tarian melainkan berkaitan dengan religi, pemujaan untuk Hyang Widi. Ini mengingatkan pada “gerak hidup” alami, misalnya gerak sperma yang mencari indung telur, atau gerak meregang ketika seseorang melepaskan nyawa.
Pendeknya, kumpulan figur itu bergerak, melainkan bukan menggambarkan aktivitas sehari-hari yang bertujuan praktis seperti berlari, makan, minum, tidur, dan sebagainya. Gerak kumpulan atau komunitas itu tak berkaitan dengan kepraktisan hidup sehari-hari, karena itu mereka tak mengenakan embel-embel apa pun. Kalau toh ada, itu sungguh tak berarti. Posisi-posisi tubuh dalam gerak itu menunjukkan bahwa figur tak sedang melakukan gerak praktis, melainkan lebih terkesan gerak menyatu dengan alam.
Posisi dalam gerak itu sangat beragam. Mendorong, melepas, melangkah, menggapai, mengangkat, memegang, menunduk, juga posisi berkacak pinggang dan berlari. Mereka juga seperti sedang memanjat sesuatu, meniti, menapaki, merangkaki, dan sebagainya, tanpa obyek tertentu yang menjadi “pegangannya.” Dengan kata lain, ketika posisi salah satu figur merangkak atau mengangkat, belum tentu, atau malah tidak ada sama sekali, sesuatu atau obyek untuk diangkat atau ‘dirangkaki’ itu. Kalaupun ada, tidak jauh dari nuansa pegunungan, tebing, pepohonan dan bulan. Alam. Kesunyian, spiritual. Gerak figur-figur anonim tersebut selalu terjadi di alam luas tanpa batas.
Figur-figur itu, sendiri atau berkelompok, semuanya anonim dan telanjang. Mereka juga tak berwajah. Tubuh-tubuh manusia dalam karya Putu memang hampir semuanya tak berwajah, tak beridentitas. Mereka menunduk, rambutnya turun menutupi wajah. Mereka, dalam patung-patung Putu, juga instalasinya, tidak hanya faceless, sekumpulan sosok anonim, massal, tidak teridentifikasi secara individual, tapi juga facelessness, tak berwajah. Sepertinya, lewat ketiadaan elemen wajah dan atribut itu, Putu lebih ingin melahirkan gerak, gerak itu sendiri, gerak “manusia,” bukan gerak individu.
Menyatu Dengan Alam
Relasi antara figur-figur itu dengan alam dimunculkan dalam Lukisan Grow (2008), salah satunya. Sejumlah pohon dan sejumlah manusia. Di dekat masing-masing manusia yang letaknya menyebar, ada pohon. Manusia dan pohon mengadakan relasi. Relasi itu menghasilkan gerak, menghasilkan bahasa yang bukan kata. Bahasa tubuh. Di dekat pohon, sosok-sosok itu ada yang berkacak pinggang, hanya berdiri, menyentuh ujung daunnya, membungkuk, menengadah ke atas, meliukkan badannya ke belakang, ke samping, berlutut, dan sebagainya. Mungkin itulah bentuk komunikasi antara manusia dan pohon. Komunikasi lewat gerak, apa pun bentuk geraknya.
Demikian juga dalam Not the Last Tree (2008). Beberapa sosok manusia di bawah sebuah pohon besar. Di sekitar mereka tampak sisa-sisa batang pohon bekas ditebang. Hanya pohon besar tempat mereka berada yang belum terkena pemotongan. Sosok-sosok itu ada yang sedang duduk bersantai, berjongkok dengan kepala menunduk, berdiri berkacak pinggang sambil menengadah melihat pohon, berdiri memegang payung dan melongok ke daun-daun yang masih rimbun, dan beberapa posisi lain. Nampaknya tidak ada interaksi yang muncul di antara sosok-sosok tanpa identitas itu. Masing-masing lebih terkesan sedang merasakan rimbunnya pohon saat itu, merasakan dirinya terlindungi dari sengat matahari. Sebagian yang lain mungkin berpikir tentang nasib pohon itu. Masing-masing dari mereka mungkin bersedih atau menyesal karena sadar bahwa pohon yang mereka lihat adalah pohon satu-satunya yang nampak di daerah itu, lalu berharap bahwa itu bukan pohon terakhir. Tatapan dan ekspresi tubuh mereka seakan menyiratkan, mereka sedang bertanya, berharap pada sang pohon.
Merayakan Hidup
Dalam “gerak hidup,” ada usaha untuk mencapai sesuatu. Sesuatu yang tidak hanya dipahami sebagai obyek. Sesuatu itu lebih pada apa yang tak ternamai. Never Truly On Top (2008), sekelompok manusia berusaha memanjat sebuah tebing. Dengan posisinya masing-masing, tidak ada yang sama, mereka naik. Ada satu sosok yang berdiri, berkacak pinggang di atas, sementara sosok lainnya berusaha mencapainya. Posisi tubuh mereka pun berbeda-beda, ada yang memanjat, meraih, merayap, juga merangkak. Terasa bahwa merekat akan sampai di puncak. Kumpulan figur manusia itu seperti berlomba untuk mencapainya, tapi tak pernah akan sampai. Lukisan itu, agaknya, menceritakan tentang keterbatasan dan ketidakterbatasan. Puncak, atau apa pun yang akan dicapai, yang akhir, itu tak ternamai, tak berbentuk, bukan obyek. Mungkin lenih tepat bukan puncak itu yang akan dicapai, melainkan “rasa” sampai di puncak. Apa yang disebut akhir, yang paling atas, bisa jadi adalah ilusi manusia atas yang tak terbatas. Sampai di “puncak” adalah kesadaran bahwa tubuh itu keterbatasan. Keterbatasan disadari ketika ketidakterbatasan dihayati.
Gerak selalu berkaitan dengan keberadaan energi. Dalam gerak, figur-figur itu seperti sedang menimba energi, menyadari keberadaannya. Lihat misalnya, Spirit From Somewhere (2008), Matahari ke Matahati (2007). Mereka juga melepaskan energi, Energi Tunggal (2001), mengamini “energi lain,” yang hadir di sekitar tubuh, Grafity to Bring Me Down (2008) dan Di Antara (2007), juga menggunakan energi, misalnya dalam Tanpa Perlawanan I (2003-2007) dan Looking for Wings II (2002). Figur-figur Putu merangkak, menghempas, menari, mencari, menyentuh, mendorong, mengejar, juga mabuk dan terjungkal. Dalam Looking for Wings, sembari memegang gelas anggur figur bersayap tanpa nama itu berpesta. Gerak adalah perayaan, pesta kehidupan. Ritual. Bergerak, menari, bukan untuk siapa pun, bukan untuk apa pun. Gerak adalah demi hidup, sebuah keniscayaan. Hidup adalah gerak, nafas, desire menuju entah apa.
Do Not Know How To Stop (2008) dan Dancing in the Full Moon (2008), dua buah instalasi dari resin dan baja, menampilkan figur-figur bening sedang berusaha mencapai atau menyerap sesuatu. Dalam Do Not Know How To Stop, figur-figur itu memanjat karena memiliki hasrat untuk tahu, hasrat untuk memiliki, hasrat untuk dipahami. Mereka tidak tahu kapan dan bagaimana harus berhenti. Ada situasi-situasi semacam keterasingan, keterpisahan, dan ketidakyakinan dalam diri mereka ketika berhadapan dengan alam. Dancing in the Full Moon adalah kerumunan figur yang membentuk bola, masing-masing melakukan “ritual geraknya” sendiri, menghidupi cahaya bulan dan malam. Lalu Cinta Dalam Purnama (2005), antara lain, adalah mencari “sesuatu yang lain” yang bisa meyakinkan figur-figur itu atas keberadaannya.
Selain figur berkelompok, beberapa lukisan Putu sarat dengan nuansa kesendirian. Mungkin, ekspresi ini sebenarnya yang pokok. Agaknya, ada pesan yang lebih penting dalam “tubuh-tubuh yang sendiri” itu. Kalaupun figur-figur dalam sebagian besar karya Putu berkelompok, mereka sebenarnya berjalan sendiri-sendiri. Jika didapati sekelompok orang sedang melakukan sesuatu bersama, misalnya dalam Loneliness Without Boundaries (2008), barisan orang sedang duduk, seperti sedang melakukan ibadah, atau Merapi (2006), gerombolan orang yang menuju ke arah sama, bergerak dengan posisi yang nyaris sama, seperti sedang mendorong sesuatu, itu karena manusia memiliki kecenderungan tertentu yang sama. Masing-masing memiliki gerak, suara dan posisinya. Mereka melakukan “ritual’nya sendiri. Karena itu, figur-figur Putu tidak bisa begitu saja dikategorikan sebagai “tubuh sosial” dengan alasan bergerombol, berkerumun, atau berkelompok. “Gerak hidup” setiap sosok bisa dikatakan sebagai “cara mengada,” cara hidup khas manusia, sendiri ataupun dengan manusia lain.
Selain Energi Tunggal, tema-tema kesendirian ini muncul dalam Sendiri (1998), seorang laki-laki seperti baru saja terjatuh, terkapar. Kepalanya menunduk, rambutnya menutupi wajah, tangan terentang ke samping. Juga Masih Banyak Kursi Kosong (2004), Terbebas Dari Dinding Hitam (1999) dan Terjepit (1998).
Pada kanvas, garis dan bidang Putu terkesan cair, mudah membentuk imaji gerak. Warna terkesan transparan, hingga antara kumpulan figur dan alam latar belakang merupakan kesatuan yang membentuk energi. Lewat gerak, anonimitas dan ketelanjangan, energi tersebut dinyatakan. Alam, dalam hal ini, tidak menjadi “Yang Lain,” melainkan “yang lain,” yang intim, bisa berkomunikasi.
Karya-karya Putu Sutawijaya yang dipamerkan di Galeri Nasional di bawah judul The Legacy of Sagacity, 20 November sampai dengan 30 November 2008 itu, adalah karya-karya yang dikerjakannya sejak 1998. Dalam pameran itu ada sekitar enam karya lukis terbarunya, empat instalasi dan patung-patung metal. Dalam rangkaian pameran ini juga diadakan peluncuran buku tentang Putu, 27 November 2008, tepat tiga puluh delapan tahun setelah hari kelahiran Putu di Angseri, Tabanan, Bali.. Buku itu ditulis oleh Jim Supangkat, yang juga mengkuratori pameran ini.