September 19, 2011

Warna-Warni Manusia Kucing



Hampir di seluruh kanvas Klowor tak kita temukan secara nyata kucing yang kita bayangkan. Tak ada seekor kucing pun di sana. Sebaliknya, kucing sebagai hewan, telah ‘dijelmakan’ menjadi manusia – sang “manusia kucing” yang siap ditempatkan di mana saja, pada peristiwa apa saja. Kucing itu lah yang nampaknya menjadi “jubir” (juru bicara) Klowor pada pamerannya kali ini.

Klowor Waldiyono (42), perupa yang juga dikenal dengan nama “Klowor Kucing” karena selalu menggunakan kucing di setiap karyanya, kali ini menggelar pameran tunggalnya yang kedua, Siklus dan Sirkus Klowor, 23 Mei hingga 31 Mei 2011 di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), didukung Yayasan Seni dan Budaya Indonesia (YASBI).

Jika kita mengamati pameran tunggalnya yang pertama, maka ada perbedaan yang segera terdeteksi pada pameran kedua ini. Kalau pada 1995, “Putih-Hitam” di Bentara Budaya Yogyakarta, Klowor tampil dengan warna hitam-putih monokrom, kali ini - memang kelihatan pas dengan judulnya – ia menampilkan karya penuh warna, lebih ornamentik, dan bernuansa komikal.

Kucing mengingatkan kita pada perupa Popo Iskandar (1927-2000) yang sampai akhir hayatnya menjadikan kucing sebagai obyek lukisannya. Namun, berbeda dengan Popo Iskandar yang dikenal dengan “kucing-kucing hitam dan belang” khasnya, Klowor mengekplorasi kucing tak lagi sebagai hewan kucing, dengan berbagai karakternya, melainkan sebagai manusia – kucing-kucing Klowor bisa menjalankan berbagai peran, menjadi aktor di segala bidang, berbicara dan bertingkah laku bak manusia.

Maka, di sini, tak ada seekor kucing yang berjalan mengendap-endap, diam, menoleh dengan mata silaunya, melainkan kucing yang memegang gitar dan mengamen (Bertahan Hidup), bertanding tinju (Bertinju), menunggang sapi, memegang pecut (Karaban Sapi), mengenakan gaun “You can see” (Kontes), dan sebagainya. Menariknya, semua imaji kucing ini dihadirkan secara pictorial, dua dimensi, seakan membuktikan kekuatan karakter garis Klowor, tak lupa dihadirkan pula tekstur, warna, dan bidang bak tumpang tindih yang memperkuat imajinasi mengenai keberadaan manusia kucing itu.

Dengan kata lain, di sini Klowor tidak menghadirkan gerak-gerik kucing dan segala karakter lainnya. Kini, kucing itu menjadi Klowor yang berkelana di dunia masa kini. Pada 2011 ini, ia seakan mau mengatakan bahwa kucing sdah menjadi simbol untuk masuk ke dalam peristiwa, mengungkapkan berbagai kisah keseharian.

Karena itu lah, ada, antara lain, Jathilan (2009), Merapi II (2010), Reog Ponorogo I (2011) yang menjadi bukti bahwa “manusia kucing” itu lebih memilih tema keseharian yang cenderung pada tradisi, dan aktivitas keseharian masyarakat dibanding dengan peristiwa sosial politik yang sering digarap beberapa perupa.

Pada karya Kucing berpedang panjang, dengan penutup mata dan topi koboi, Zorro Sang Pahlawan (2009), kucing jadi dalang, jadi wayang, jadi sinden dalam Pertunjukan Wayang (2010) terlihat penekanan pada keragaman peran “manusia kucing” di sini. Pendek kata, dalam karya-karya Klowor kali ini, ada kecenderungan mengejar konsep, atau isi lukisan. Agaknya, hal ini menjadi kecenderungan seniman yang lahir dari lingkup akademis ketika, mungkin, pencapaian teknis dirasa final.

Tentu saja ini bukan hal baru. Sekian banyak karya colorfull Klowor bisa dikatakan memiliki nuansa seragam, hanya judul dan peritsiwa yang jadi pembedanya. Pendek kata, secara artistik-teknik, kemampuan Klowor tak perlu diragukan.

Di tengah kanvas besar sarat warna itu, yang bagi saya menarik adalah beberapa karya sketsa kertas Klowor (dibuat pada 2002, 2000, dan sekitar 1989-1990an). Agaknya, coretan pena, tinta di atas kertas ini menjadi benih, potensi yang belum sepenuhnya teraktualisasi di kanvas-kanvas besar penuh warna itu.

Salah satu karya, Manten (2009), misalnya. Di sana sudah nampak figur yang ada pada sketsa Mantenan, 2002, yang tak mengalami perubahan drastis yang bisa dinilai signifikan sebagai pencapaian artistik. Klowor lebih menekankan keragaman peristiwa dan konteks. Maka, di pameran kali ini, agaknya, dari sisi artistik, warna lah yang menjadi salah satu “pencuri perhatian mata” penonton.
Catatan Jenaka Malaikat

Ada gambar telanjang tubuh laki-laki, menghadap depan, dengan mata ditutup. Di sebelahnya ada keterangan, dengan panah yang menunjuk ke bagian penis: “Penyakit Hernia atau turun berok (buah zakar membesar dan sakit bila dipegang).” Lalu di bawahnya ada “10 hal yang bisa menyebabkan hernia pada laki-laki” berikut poin-poinnya.

Itu bukan iklan layanan masyarakat sungguhan meskipun kalimat dan penyajiannya bak iklan layanan masyarakat. Deretan kalimat dan keterangan atas hernia di atas adalah salah satu karya dari Malaikat, seniman kelahiran Surabaya yang sempat mengikuti beberapa pameran di ruang-ruang seni alternatif.

Pameran kali ini, “Malaikat dan Anak Laki-Laki Berjari Satu,” berlangsung di Kedai Kebun Forum, Tirtodipuran, Yogyakarta, 27 April 2011 – 20 Mei 2011, adalah pameran tunggalnya yang kedua sejak 2009 lalu. Kali ini, Malaikat hadir dengan kisah-kisah komik yang kata Agung Kurniawan, “Srimulat” – komik-komik humor ala Malaikat.

The Boy who Has One Finger (2011), sebuah patung fiber yang menampilkan sosok bak foto diri Malaikat.Laki-laki berwajah persegi, berkaca mata gagang hitam, berkaus garis-garis hijau-putih, bersepatu boot bak sepatu trekking, mengacungkan satu jari pada tangan kirinya, sekilas tampak seperti simbol makian yang kita kenal, “Fuck You.” Patung ini bak simbol pembuka kita semua untuk mengenal Malaikat dan humor-humor jenaka yang kadangkala bernada sinis ini.
Di sini, Malaikat tak hanya menggunakan medium kertas, melainkan juga kayu, papan, fiber glass, keramik, kanvas, dengan cat akrilik. Tak hanya “iklan layanan masyarakat” di atas, tapi juga kisah komik, gambar-gambar manusia satu-satu di atas keramik, robot-robot, patung, celengan keramik, dan sebagainya.

Dalam komik-komiknya, walau peran utama itu ada, namun Malaikat tak memunculkan tokoh “hero.” Peran-peran yang disandang tokoh komiknya sama. Mereka semua seakan berbaur dalam satu kisah kocak, konyol, menggelikan. Lihat saja, kisah tragis pedagang siomay yang penisnya diserang dua ekor lele kelaparan (dalam Kisah 2 Ekor Lele Katarak), pedagang pisau yang menjadi tersangka dan saksi tunggal karena ditinggal sendirian oleh peserta tawuran (Asyiknya Tawuran), dan sebagainya.

Ada lagi Malaikat Art Book, yang tanpa tahun khusus karena dikerjakan sepanjang tahun. Karya ini berupa sekumpulan kertas dan kanvas persegi yang diisi berbagai macam gambar dan kata: ada gambar ufo, tulisan “new arcadia,” gambar sapi yang mulutnya diwarnai merah, didampingi tulisan “Abon Sapi Bali Cap Sapi Bergincu,” gambar Batman, Jasa Antar JKT-SBY (PP cuma 3 menit), dan sebagainya.
Selain gambar komik, unsur tulisan dalam karya Malaikat agaknya memang dominan, memegang peran penting menggulirkan cerita. Di sini tak kita temukan semacam “onomatope,” semacam rangkaian huruf atau kata yang menggambarkan ekspresi dan cerita dalam komik, misalnya “Braaaa … kkk,” “Rrrrr … “ “Ssshhh …” “Aw,” dan sebagainya.

Dibanding onomatope yang mungkin “sebuah usaha mengubungkan kata dan gambar,” “strategi tulisan” Malaikat, agaknya, lebih cenderung “informatif.” Ia menggunakan keterangan semacam tanda panah, misalnya “pisau” dengan panah menuju pada isi bakul yang sedang dipikul pedagang pisau (Asyiknya Tawuran), atau ”Gerobak pedagang bakso yang jujur,” dengan panah menuju ke salah satu gerobak imut-imut – gambar-gambar Malaikat sangat kecil - yang dikelilingi puluhan gerobak imut-imut lain (pada I am out of this Fucking Bussines).
Kalau kita amati, tulisan dalam komik Malaikat beralur runtut dan dengan mudah dapat dipahami. Dengan kata lain, di sini, agaknya Malaikat lebih banyak mengolah, atau fasih dengan bahasa tulis dibanding “bahasa gambar.”

Maka, di sini, tulisan pula yang nampaknya memegang peran penting untuk memprofokasi, walau dalam seni komik, tak bisa dipungkiri bahwa gambar berperan utama untuk menyampaikan pesan.

Kekayaan medium ungkap, tak hanya kertas, juga keramik, dan sebagainya, menjadi salah satu daya tarik Malaikat. Kejenakaannya tak hanya disajikan di dalam tulisan, namun, medium ini yang, agaknya, bisa dieksplorasi lebih jauh untuk mencari “humor-humor” baru yang tak berpanjang-panjang dengan kata. **
Romantisasi Parkit



Dua ekor parkit menyusun biji-bijian dari paruhnya, membentuk sebuah rangka rumah. Parkit-parkit itu bak sedang Menyemai Harapan, demikian istilah Sarwoko, sekaligus menjadi judul salah satu lukisannya pada pameran tunggal, Puisi Parkit, Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta, 22 Mei – 5 Juni 2011.

Karya lain, seekor parkit besar mengapit parkit kecil. Kepala parkit kecil itu seperti menyusup ke dada parkit besar itu. Don’t Worry, be Happy (2010), demikian judulnya. Parkit besar yang mungkin ibu, atau bapak parkit itu bak sedang menghibur, menasihati anak di dekapannya itu.
Ada lagi Immortal Beloved (2010). Dua ekor parkit, yang satunya berbulu dominan warna biru, satunya hijau, duduk berdampingan, berlatar semacam biji-bijian berbentuk ‘love.’ Sebuah ekspresi dari sepasang parkit yang sedang jatuh cinta, atau komitmen sepasang parkit yang baru menikah?

Burung parkit dalam karya Sarwoko, agaknya, melakukan aktivitas khas manusia: mereka menikah, membangun rumah (rangka rumah manusia), melamun, dan sebagainya. Pendek kata, parkit di sini berekspresi, berpose, dan beraktivitas ala manusia. Sarwoko, agaknya, ingin menganalogikan parkit dengan kecenderungan setiap makhluk bertahan hidup, dalam hal ini manusia.

Parkit-parkit (atau burung nuri), yang sering dijadikan burung hias ini, agaknya, disadari atau tidak, benar-benar difungsikan sebagai burung hias, ‘model’ dalam lukisan Sarwoko.

Sarwoko, konon, tertarik dengan wujud indah parkit, dan sensitivitas parkit dalam menghadapi perubahan lingkungan. Ia pun, nampaknya, berlatar gejolak dan kenyataan hidupnya, setidaknya pada karya ini, mengidentifikasikan dirinya dengan parkit.

Namun, agaknya, di sini, menilik pose-pose parkitnya, mereka - yang lebih nampak diposekan sesuai ‘pose manusia’ – kehilangan bahasa burungnya. Pendek kata, bahasa tubuh parkit itu sendiri bak bersembunyi di balik bahasa manusia.

Parkit di sini agaknya telah menjadi ikon yang digunakan Sarwoko untuk menceritakan kisahnya – suatu “Parkit-yang-menjadi-Sarwoko,” tanpa sebaliknya. Pendek kata, parkit dalam lukisan Sarwoko lebih tampak sebagai parkit hasil imajinasi manusia.

Maka, terlihat di sini parkit yang dikondisikan, antara lain dimasukkan dalam plastik yang diikat karet gelang (The Struggle, Mencari Celah) - suatu ekspresi khas manusia untuk menampilkan bagaimana terkurung tanpa udara. Plastik, agaknya, bukan bahasa sehari-hari burung parkit.
Pendek kata, parkit di sini agaknya memang sengaja ‘dimanipulasi’ untuk menghadirkan pada kita sebuah kenyataan pahit: manusia yang berjuang keras (struggle) untuk hidup. Tarik menarik antara hidup dan mati disimbolkan Sarwoko dengan jaring-jaring, tali, bungkusan daun, plastik, air, biji-bijian, dan sebagainya yang menyertai para parkit itu.

Agaknya, dalam karya-karya Sarwoko kali ini - seluruhnya lukisan parkit dengan teknik realis - ada kecenderungan ‘romantisasi’ parkit, parkit yang diromantisasi. Berserah Diri (2010), misalnya, dua ekor parkit berbaring bak sedang tertusuk panah, atau tombak. Parkit itu nampak seperti hero, atau Kristus yang menyerahkan diri demi sesuatu. Juga pada parkit berbulu paduan warna biru, hitam, dan putih bak sedang melayang jatuh, tertahan oleh jaring-jaring, matanya terpejam, kepalanya di bagian bawah pada Life is Struggle (2010). Pendek kata, kesan heroik yang ditampilkan agaknya yang membentuk dan memperkuat romantisasi para parkit itu.

Dalam Ketika Daun-Daun Mengering (2010) - sebuah judul yang terkesan puitis - parkit biru bak sedang terjatuh, terbaring di atas bebatuan, di sebelahnya daun menguning, tepiannya sobek. Parkit itu terpejam. Gambaran yang lebih tampak romantis-puitis itu seakan berpesan: bahkan ketika daun-daun mengering pun, parkit, pun dalam kematiannya (yang notabene adalah burung berdaya tahan lemah), tetap indah. Parkit di dalam lukisan Sarwoko adalah parkit-parkit yang menjalankan fungsi sebagai ‘burung hias,’ parkit yang pantas dipandang.
Tak hanya burung parkit yang sendirian menahan ‘sakit,’ berjuang dan menang, romantisasi Sarwoko ini bisa dilihat pula pada gerak beberapa ekor parkit yang sedang bermain, bercanda satu sama lain, mereka bak menari – melonjak, separuh terbang, dalam Water is Life (2010).
Cara ungkap Sarwoko melalui burung parkit bukan hal baru, dan terkesan umum, karena itu pesan para parkit ini mudah kita terima. Di kanvas Sarwoko, parkit-parkit hias itu bak menjelma, memotivasi kita semua untuk tak menyerah dalam kehidupan.
Tegangan Garis Agung



“Kuda hitam sudah berubah.” Tulisan huruf cetak warna-warni itu menemani gambar seekor hewan yang tampak diberi topeng kuda, berdiri di atas semacam poin catur. Tulisan lain, “At the very bottom of everything,” “Man Without Name,” tulisan tanpa spasi Runawayyesusrunaway,” lalu gambar orang berbaring, di bawah kasurnya ada gambar orang-orang beraktivitas ditimpa tulisan “War Against,” di sebelah kasur ada deretan tiang listrik, lalu di atasnya ada orang berhelm astronot, di sebelah lain ada salib, tulisan “Made in China,” gambar segelas kopi, dan sebagainya. Semuanya bak tumpang tindih, penuh warna. Sekilas, gambar-gambar itu lebih tampak seperti coretan-coretan, bak karya mural yang kita lihat di tembok gang-gang di jalan-jalan kota.

Sekilas mungkin kita tak mengenali itu karya Agung Kurniawan (43). Selain mediumnya yang tak biasa (Agung hampir tak pernah ‘bermain-main’ dengan cat air), tampilannya pun berbeda dari karya biasanya. Tak ada fokus figur, tak ada cerita. Figur-figur dalam karya ini nampak tersebar, lepas-lepas, ‘mengudara,’ tanpa ruang, full color. Ciri demikian termasuk “langka,” atau bahkan tak pernah kita jumpai di hampir semua karya Agung. Karakter umum karya Agung tak banyak warna, terkesan buram, gelap, keruh, doff. Namun, ada kesamaan yang tak dapat diingkari pada karya Agung: garisnya kuat-dominan, dan efek kering, padat.

Karya bermedium cat air ini, beserta drawing pastel-conte, pensil, charcoal dan instalasi tralis muncul dalam pameran tunggalnya, The Lines that Remind Me of You, Kendra Gallery, Seminyak, Bali, 23 April – 22 Mei 2011.

Karya “tumpang tindih” itu diberi judul yang cukup unik: #4 Things that Write Their Own Stories (2011), karya ini berseri, medium cat air di atas kertas.

“Benda-benda yang menulis kisahnya sendiri” – nampaknya ini yang mau dicoba dieksplorasi Agung – ia seakan mencoba melepaskan diri dari narasi yang selama ini selalu ada dalam gambarnya (tema-tema kritik terhadap kekuasaan politik, terutama zaman Orde Baru). Maka, dalam karya seri cat airnya, ia bak berusaha mengalirkan: apa saja yang muncul digambarnya di kertas.

Belum lama ini, Agung memang mengeksplorasi medium cat air, medium yang menurut pengakuannya tak pernah diakrabinya selama ini. Maka, pameran kali ini bisa dibilang unik karena kemunculan karya bermedium cat air yang mungkin bisa menjadi periode penting dalam eksplorasi berkeseniannya.

Sekilas, dalam seri karya cat airnya, efek basah cat air tak nampak mendapat prioritas – tak tampak blok-blok hasil transparan cat air, sapuan kuas, atau lapis-lapis warna saling menimpa. Agaknya, karya cat air Agung masih terkesan “rapi, terkontrol.”

Kesan lainnya, warna terdapat pada garisnya, bukan pada bidang, atau ikut membentuk figur. Dengan kata lain, kuas berisi warna itu bak jadi pensil untuk membuat kontur berupa garis tegas. Maka, cat air di tangan Agung terkesan memberi efek linearity daripada painterly.

Kalau pada karya drawingnya, Agung mengakui bahwa ia merasa paling bebas, dan pada karya tralisnya ia lebih butuh kontrol dan perencanaan matang, di karya cat air ini, ia agaknya berada “di dalam tegangan” keduanya: garis yang masih tampak dibawah kontrol kesadaran (kebiasaan membuat skesta sebelum digambar lagi) dan kekuatan narasi, dengan sifat medium cat air yang sarat spontanitas.

Fleksibilitas cat air dan kemungkinan-kemungkinan “kecelakaannya,” kalau pun memperkuat efek spontanitas gambar (yang memang dikehendaki Agung), namun fleksibilitas ini, agaknya berlawanan dengan “kontrol garis” Agung. Hal ini bisa dilihat pada, misalnya, #2 Things that Write Their Own Stories (2011). Figur-figur berupa rangka tembus pandang, dengan baju rangka, terpotong-potong, dan minim warna membuat karya ini, agaknya, “gabungan” karakter instalasi tralis dan drawing Agung.

Sementara itu, karya drawing dan instalasi tralis Agung masih menyimpan nuansa lama – bedanya, imaji kali ini berasal dari album foto keluarga, di mana yang dominan adalah kenangan tentang kakaknya (anak laki-laki kebanggaan keluarga). Figur kakaknya ini dikenangnya lewat, antara lain, My Brother’s Portrait (the Golden Boy of the Family Series), 2011, dan The Guardian Angel (2011), dua anak berwajah bak topeng atlet anggar sedang berboncengan sepeda di serambi rumah (drawing di atas kertas berbekas lipatan). Narasi kekerasan khususnya muncul pada Loser Series Saddam Husein (2010), instalasi kaki tentara bersenjata, berasal dari foto di sebuah media Saddam Husein ketika ditangkap oleh tentara amerika.




Metamorfosis Hasrat Kolonial




Judul: Black Night (Nuit Noire)
Tahun: 2005
Durasi: Country: BelgiumGenre: surealis, cult, drama, misteri
Director: Olivier Smolders


Sepasang laki-laki tua berwajah mirip, dua orang anak memegang lentera, seorang anak perempuan tergeletak berdarah di atas es, panggung berlatar hujan salju, korden (layar panggung) terbuka dan tertutup, membuka film Black Night. Tak hanya di awal, sosok-sosok dan imaji itu pun berulang di sela-sela scene lain dalam film.

Hampir seluruh rangkaian scene bergerak lambat, diselingi extreme close-up detail beragam jenis serangga. Kecepatan film bak terinspirasi dari gerak serangga – pendek-pendek, lambat-lambat, patah-patah, tak runtut - yang memang tak bisa dilepaskan dari passion sang sutradara terhadap serangga. Berbeda dari film naratif pada umumnya, Black Night tak menyuguhkan narasi linear. Bahkan, seluruh film ini berjalan bak logika mimpi – tak berurutan, repetitif, penuh simbolisasi, imaji dan minim kata. Di sini, mungkin, kita tak bisa dengan mudah mengenali kisahnya, namun akan selalu ingat akan imajinya.

Setting kisah ini di hari yang nampak selalu malam, matahari hanya muncul sekitar 15 detik tiap harinya. Oscar (Fabrice Rodriguez) bekerja sebagai entomologis (peneliti serangga) di Natural Science Museum yang didirikan ayahnya. Ia dihantui oleh rasa bersalah karena merasa telah membunuh saudara perempuannya di masa lalu. Dikisahkan bahwa ia menjalani suatu terapi karena depresi dan rasa bersalah yang akut itu. Menurut terapisnya, Oscar tak melakukan pembunuhan, bahkan ia diduga tak memiliki saudara perempuan. Sepulang dari museum, ia menjumpai perempuan Afrika (Yves-Marina Gnahora) sedang berbaring di kamarnya. Perempuan itu telanjang, berselimut, tubuhnya berkeringat dan bergetar (perempuan itu adalah pegawainya di museum). Suatu hari, perempuan Afrika itu hamil, lalu mati, namun bayi di perutnya masih bergerak. Maka, oleh Oscar, tubuh perempuan itu diawetkan bak mumi, sampai ternyata berubah jadi kepompong (pupa), dan dari sana keluarlah sosok lain, seorang perempuan kulit putih.

Jika dianalogikan dengan lukisan, Black Night, mungkin, bak lukisan klasik dengan olahan chiaroscuro (pencahayaan, gelap-terang) yang sempurna. Film ini juga penuh dengan ikon dan hiasan, yang bagi Smolders berkarakter “Barok dan manerisme.”

Dalam Black Night, nampak pengaruh fotografi hitam-putih Ingmar Bergman (yang dipuji Smolders), dan imaji surealis dari film Eraserhead karya David Lynch – dan agaknya, film ini mengingatkan kita pada karakter lukisan surealis Belgia, misalnya Paul Delvaux (1897-1994), dan Rene Magritte (1898-1967), dengan figur realis, namun komposisi, dan ruangnya nampak tak realistis.

Di balik imaji sureal itu, Black Night, agaknya, tak hanya muncul sebagai film yang memuja keindahan semata, atau narasi nonlinear yang membingungkan – atau sekadar menggarap “the art of film.” Smolders, di sini, seakan menyuguhkan tema penting, yaitu relasi antara Belgia dan Afrika – “Belgian-Congo” (Kongo pernah menjadi koloni dari Belgia (era 1908–1960) - yang merupakan relasi semacam “penjajah” dan “terjajah,” “Dunia Pertama,” mengatasi, menguasai “Dunia Ketiga” (Belgia ‘menguasai’ Afrika), “kulit putih” di atas “kulit hitam,” dan seterusnya.

Relasi tersebut memuat “misi pembudayaan” dari “kulit putih” pada “kulit hitam” – Afrika dianggap sebagai “benua hitam,” yang isinya “manusia primitif” – maka harus “dibudayakan” oleh Eropa. Kisah ini pernah digambarkan jelas di Buku komik Tintin in the Congo (1931).

Perempuan Afrika itu ingin dipanggil dengan nama “Marie Neige, nama dari “saudara perempuan” Oscar yang notabene, menurut ingatan Oscar, berkulit putih. “Nama itu cantik, aku ingin disebut dengan nama itu,” ucap perempuan Afrika itu. Bahkan, sesaat sebelum mati ditembak oleh “anak perempuan berkulit putih,” ia memohon pada Oscar untuk menyatakan cinta padanya.

Agaknya, Black Night mengisahkan hasrat – desire-to-be-white, hasrat “kulit hitam” menjadi “kulit putih,” ketakutan kulit putih terhadap “kulit hitam” yang dipersepsi sebagai yang “tak berbudaya,” “primitif,” dan hasrat untuk “membudayakan.” Karena itu, mungkin, film ini kaya dengan ‘oposisi biner,’ relasi hitam-putih, gelap-terang baik di mise-en scene, maupun sinematografinya.

Uniknya, di sini, “hasrat menjadi Yang Lain” itu diungkap oleh Smolders menggunakan kosakata serangga – misalnya, metamorfosis, proses si perempuan Afrika mengandung, menjadi larva, kepompong, lahir perempuan cantik, putih seakan wujud dari “kupu-kupu.” Agaknya, ini lah yang disimbolkan sebagai “hasrat-menjadi-putih,” dan hasrat Oscar sendiri (simbol dari Smolders) yang dalam ketidaksadarannya menghasrati “sesama putih” dan merasa terancam akan “yang hitam.”

Meski tergolong tak produktif, Olivier Smolders menunjukkan kekuatan karakter surealisnya dalam Black Night, setelah Spiritual Excercises, kumpulan film pendek yang digarapnya 1984-1999. Akhir kata, Black Night layak dirujuk bagi ‘penjelajah’ film non Hollywood. **


-Sty-