Catatan FGD Reposisi Taman Budaya (Yogyakarta)
Suatu pemandangan yang sudah lazim bila setiap hari menjelang sore, Taman Budaya Yogyakarta, yang diapit oleh Pasar Beringharjo dan pasar buku “shopping,” terlihat ramai dikunjungi. Uniknya, jenis kunjungan yang terjadi bukan lah kunjungan dalam arti ada pementasan, atau acara pameran tertentu, melainkan kedatangan, baik direncanakan mau pun spontan, untuk berbagai keperluan, baik yang terjadwal di TBY, atau pun yang tak terjadwal di TBY, misalkan sekelompok anak SD yang datang hanya sekadar untuk bermain-main, atau orang-orang nongkrong berbincang di selasaran depan ruang pamer, tanpa ada event tertentu.
Layaknya taman, seluruh area TBY, walau tak tampak padat atau penuh sesak, tampak berfungsi dengan sendirinya. TBY bukan lah gedung yang “disegani” atau hanya dikunjungi bila ada acara tertentu, melainkan terbuka bagi siapa saja dalam keadaan tanpa acara pun. Pendek kata, TBY bak “taman” – walau bukan taman kota seperti yang kita kenal - berumput dan banyak tanaman, melainkan ruang – taman sebagai ruang publik yang bisa diakses siapa saja, dengan kepentingan apa pun, terutama yang berkaitan dengan aktivitas kesenian.
Maka tak heran bila kemudian, selain mungkin pertemuan panitia acara, kita juga melihat sekelompok anak berseragam sekolah berlatih teater, tari, atau dansa kontemporer dengan musik pop-rock masa kini, atau juga orang-orang tua yang bercengkerama, orang-orang nongkrong sendiri, atau bersama, bertemu, makan minum di kantin, beberapa di kantor sekretariat kegiatan, atau art shop, dan sebagainya. Pendek kata, TBY menjadi semacam ruang publik yang bisa difungsikan untuk apa saja.
Begitulah sekilas gambaran suasana TBY sekitar tiga tahun terakhir ini, paling tidak, yang terasa dan teramati oleh saya. Berbagai kegiatan segala usia hadir di sini. Mungkin, dari sisi ini, kita bisa mengatakan bahwa TBY telah menjadi semacam ruang belajar dan bermain masyarakat Yogyakarta.
Kemudian, tepatnya pada 28 Februari 2011 lalu, terjadi pergantian (yang dianggap mendadak oleh seluruh komunitas seni Yogya) terhadap kepala TBY, Dyan Anggraini. Dyan digantikan oleh GPH Yudhadiningrat. Setelah menjabat sejak 1989, dan menjelang pensiunnya dua tahun kemudian, Dyan Anggraini secara mendadak digantikan oleh GBPH Yudhaningrat. Bu Dyan dipindah ke bagian lain, yaitu sebagai Kepala Bidang Tradisi, Seni, dan Film di lingkungan Dinas Kebudayaan DIY.
Perpindahan itu menimbulkan kekhawatiran di kalangan para seniman dan komunitas seni yang sudah demikian akrab dengan Bu Dyan, bahwa Gusti Yudha akan punya kebijakan yang jauh berbeda dari Bu Dyan, kebijakan yang belum tentu bisa memfasilitasi gairah kesenian warga Yogya.
Tulisan ini merupakan catatan dan tanggapan mengenai diskusi yang diadakan atas kerjasama Mata Jendela, Taman Budaya Yogyakarta, dan Dewan Kebudayaan DIY sehubungan dengan pergantian Kepala TBY itu. Forum ini diberi nama FGD (Focus Group Discussion) kemudian diberi judul “Reposisi Taman Budaya (Yogyakarta)” berlangsung di ruang seminar TBY, 9 April 2011. Peserta inti diskusi ini antara lain: Ons Untoro (perwakilan Rumah Budaya Tembi), Hairus Salim (Perwakilan Pers, bekerja di Majalah Seni Budaya GONG), Rain Rosidi (dosen Fakultas Seni Rupa ISI dan kurator independen), Lono Simatupang (dosen Fakultas Ilmu Budaya, UGM), Aprinus Salam (dosen Fakultas Ilmu Budaya, UGM), Kuskrido Dodi Ambardi (Direktur Riset LSI, dosen Fisipol UGM), Wisnu Martha Adiputra (dosen Jurusan Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Politik, UGM), Gunawan Maryanto (aktivis Teater “Garasi”), dengan moderator Kuss Indarto dan Suwarno Wisetrotomo (redaksi Mata Jendela).
Maka, dalam tulisan ini, secara berurutan akan disampaikan, pertama, “(Re)Posisi” berisi latar belakang yang memicu FGD bertema Reposisi ini, kedua, “Reposisi (tanpa) Posisi” yang secara khusus meneropong empat kecenderungan sikap dan ide pada peserta diskusi, ketiga, “Jendela Yogyakarta: Kreatif, Informatif-Dokumentatif, Apresiatif,” semacam catatan akhir atas diskusi ini.
1. (Re)Posisi
“TBY butuh siluman,” kata Ons Untoro. Dalam konteks TBY, siluman, menurut Ons, “Bukan orang, melainkan komunitas yang bisa diakomodasi.” Pendek kata, TBY butuh komunitas-komunitas yang mampu mendinamisasi geraknya. Komunitas yang istilahnya “Siluman” ini bisa berfungsi sebagai ‘tandingan’ dari corak birokrasi-hirarki. Ons memberi contoh sosok Halim HD di TBS (Taman Budaya Surakarta). Halim merupakan seorang “aktivis” kesenian yang bisa menjadi motor bagi berbagai kegiatan kesenian di kota itu.
Nampaknya, dari peserta diskusi, Ons lah yang terang-terangan menentang kemungkinan munculnya birokrasi baru, tatanan hirarkis yang nantinya (diramalkan) akan terbangun di TBY setelah Bu Dyan tak lagi menjabat sebagai kepala TBY.
Pindahnya bu Dyan secara tiba-tiba ini menimbulkan banyak dugaan, mungkin terkait dengan kasus penggelapan artefak merapi di JNM beberapa waktu lalu, atau dengan “debat” bu Dyan dengan Djoko Dwianto, kepala Dinas Kebudayaan DIY.
Posisi Bu Dyan sekarang, agaknya, membatasi ruang geraknya karena ia tak lagi ikut campur di level operasional, melainkan di level ‘konseptual.’ Padahal, Dyan, diakui para seniman, merupakan sosok yang mampu mengakomodasi berbagai kepentingan sehingga membuat TBY “hidup” sebagai ruang bersama. Karena itu, kepindahan bu Dyan ke bagian lain ini banyak disesalkan oleh para seniman dan berbagai komunitas seni di Jogja. Dan mereka ragu, khawatir akan adanya pimpinan baru yang masih diragukan kedekatannya dan keterbukaannya di dunia seni rupa.
Mengawali diskusi, Gusti Yudha mengetengahkan problem. Bagi Beliau, masalah yang terjadi di semua Taman Budaya di kota mana pun, adalah kenyataan bahwa keberadaannya selalu dinomorduakan di daerahnya. Karena itu, disepakati bahwa Taman Budaya ikut pemerintah pusat, baik dalam hal dana maupun fasilitas.
Tapi nampaknya, kalau pun dalam forum diskusi problem ini sedikit banyak disinggung, namun bukan ini yang agaknya menjadi latar belakang FGD ini.
Bagi kalangan seni rupa, nampaknya, yang jadi masalah, kalau bisa dirumuskan di sini, “Bagaimana nasib TBY nantinya di tangan Gusti Yudha, setelah ditinggal Bu Dyan, yang notabene lebih dianggap memahami dunia seni rupa?” Apakah sosok Gusti Yudha akan menjadi pengejawantahan “birokrasi,” atau ia bisa dengan terbuka ‘melanjutkan’ suasana kebersamaan ‘warisan’ Bu Dyan? Hal ini perlu diperhatikan mengingat Yogya, dengan suasana yang diistilahkan Lono sebagai “suasana workshop,” tak bisa difasilitasi dengan model birokrasi bercorak hirarkis.
2. Reposisi (tanpa) Posisi?
Pertanyaan pentingnya, mungkin yang utama ketika bicara mengenai reposisi TBY adalah: Posisi mana yang direposisi? Posisi TBY (kini) dianggap bermasalah sehingga perlu reposisi? Posisi sekarang yang dipimpin Gusti Yudha? Atau posisi sebelumnya semasa Bu Dyan?
Menilik hasil diskusi, setidaknya, ada empat sikap yang ‘menjangkiti’ peserta diskusi sehubungan dengan cara mereka memahami problem di balik reposisi ini. Pertama, reposisi atas posisi TBY sewaktu kepemimpinan Bu Dyan. Mereka yang memahami dari sisi ini berkecenderungan mengadakan evaluasi atas kinerja TBY selama ini. Maka muncullah masalah mengenai visi misi TBY, kekurangan dan kelebihan, serta cita-cita, harapan mereka atas TBY ke depan. Sikap ini bisa diamati pada Dodi, Lono, Salim, Wisnu, dan Aprinus.
Kedua, reposisi atas posisi TBY di masa kepemimpinan (baru) Gusti Yudha, mereka ini lah yang punya dugaan kuat, kecurigaan dan kekhawatiran akan adanya kepentingan lain di balik rotasi Bu Dyan. Sikap ini terlihat pada Ons dan Thomas. Mereka memahami problem reposisi terletak pada peralihan jabatan itu.
Ketiga, posisi peralihan – posisi semacam “jembatan penghubung” antara TBY masa lalu dan TBY masa depan. Sikap ini bisa dilihat pada Gunawan yang sering berhubungan langsung dengan, khususnya fasilitas fisik TBY. Posisi keempat bisa dikatakan posisi “apatis.” Kita bisa ambil contoh Rain yang tampak tak terlalu banyak berpikir apakah TBY akan tetap sebagai ruang publik, atau tidak – seakan ingin mengatakan, “Tak harus TBY, toh banyak ruang publik lain di Yogya ini.”
2.1 Sikap Pertama: Mimpi untuk TBY
Kecenderungan paling tampak pada sikap pertama ini yaitu mengevaluasi kinerja TBY selama ini (semasa kepemimpinan Bu Dyan, walau tak pernah menyebut saat TBY dipimpin Bu Dyan), dan mengungkapkan harapan-harapan atas TBY di masa akan datang.
Sikap ini muncul karena berbagai hal, salah satunya kenyataan bahwa mereka tak secara khusus mengikuti, mengamati gerak laju TBY sehingga mereka belum berhasil memetakan problem TBY. Karena itu, pandangan-pandangan yang muncul sebagian besar berisi pemikiran umum mengenai Taman Budaya, khususnya harapan-harapan untuk TBY di masa depan.
Dari sisi reposisi, sikap pertama ini seakan-akan sedang mengadakan “reposisi” TBY dengan melihat peran dan fungsi TBY secara umum sepengalaman mereka (tanpa menyadari sungguh bahwa “TBY selama ini” berarti “TBY semasa dikepalai Bu Dyan”). Maka, tampak di sini seakan mereka sedang mengadakan “urun rembug,” mencari, memilih, menetapkan posisi TBY untuk masa akan datang.
Kendati pun, menurut Ons, menanggapi peryataan Dodi bahwa masalahnya belum diungkap oleh para pembicara di sesi pertama (Ons, Rain, Salim, Gunawan), Dodi sebenarnya ingin membuka persoalan yang tak diungkap di sini (yang notabene bisa ditarik Ons menjadi persoalan kepentingan yang disembunyikan, semacam “upaya untuk sembunyi”), namun, dalam pemaparan Dodi selanjutnya, ia tak tampak kuat memiliki “kecenderungan” politis seperti Ons. Maka, Dodi agaknya lebih pas menduduki “sikap” pertama ini.
Dodi nampak membaca problem TBY tak berkaitan langsung dengan pergantian pimpinan, melainkan problem kinerja TBY sesuai dengan pengalamannya. Wisnu, sebaliknya, tak banyak menemukan problemnya, namun ia memberi usulan konkret atas TBY. Demikian juga Salim yang cenderung berharap TBY bisa menjadi partner dalam pengembangan apresiasi seni. Posisi Lono tak jauh berbeda, ia memberi masukan mengenai TBY dan jaringan-jaringannya, juga Aprinus yang melihat problem besar TBY dikaitkan dengan Indonesia.
Dodi memahami problem dari pengalaman. Ia berangkat dari “frustrasi” nya terhadap visi misi TBY yang sesuai pengalamannya, jauh dari sempurna. Ketertarikannya pada dunia teater sejak 1986 meningkatkan rasa ingin tahu segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia teater. “Sejarah teater di jogja, “eksplorasi eksperimen estetika, pergeseran pendekatan, dan mengenai teater sampakan yang khas jogja,” antara lain hal-hal yang diharap bisa dicari dan didapatnya di TBY. Namun, sayang, ia tak dapat menemukannya.
Kedua, Dodi juga berangkat dari harapannya atas keberadaan ruang seni yang bisa dijadikan lahan pendidikan budaya dan karakter anak, sesuai pengalamannya di Amerika, ada workshop membuat tembikar, membaca cerita, dan sebagainya, sehingga ia “nyaman melepas anak di sini.” Pendek kata, ia ingin “TBY menjadi semacam orang tua yang membawa anak jadi dewasa melalui muatan seni dan budayanya.” Maka, ia juga berharap ada semacam “Baliho kegiatan di TBY yang berisi acara dan target penonton, keterangan mengenai layak tidaknya suatu acara untuk disuguhkan pada anak.”
Problem Dodi, diakuinya, lebih sebagai problem awam yang mencari sesuatu dalam TBY. Mencari informasi, mencari ruang bermain dan belajar. Maka, baginya, reposisi TBY berangkat dari masalah-masalah itu. Paling tidak, bagi Dodi, TBY harus merumuskan secara tegas perihal keharusan TBY memilih prioritasnya, apakah akan berfokus ke ekonomi perkotaan, atau kah kultural-edukatif, misalnya. Dari sana baru ditentukan berbagai langkahnya. Sekilas, usulan Dodi tampak sangat sistematis. Ia berangkat bahkan dari tataran konsep, sampai pada implementasinya.
Harapan Dodi, TBY juga bisa menjadi “Jendela Yogyakarta’; dalam arti orang bisa belajar dan paham kultur Yogya melalui dokumentasi dan informasi di TBY.
Seperti Dodi, dokumentasi memang menjadi masalah penting yang harus diperhitungkan oleh TBY. Bahkan, kalau perlu, demi dokumentasi, TBY bisa bekerjasama dengan berbagai organisasi dan media, misalnya GONG. Dodi memberi contoh, kalau TBY tak memadai mengenai seni tradisi, misalnya, link bisa diarahkan ke GONG.
Dalam hal jurnalisme, Salim (yang pernah mengelola GONG Majalah Budaya, sekarang tak terbit lagi, hanya ada website yang melayani kebutuhan dokumentasi, khususnya foto, di
www.gong.tikar.or.id) mengaitkannya dengan kesenian. Sesuai pengalamannya dengan GONG, secara khusus, Salim menyatakan bahwa kita memiliki persoalan apresiasi, khususnya dalam hal seni, “Bagaimana peristiwa kesenian disampaikan ke masyarakat melalui media, dalam hal ini, cetak?”
“Jurnalisme kesenian kita lemah,” ungkapnya. Hal ini, menurut Salim, terbukti dari, khususnya, dua hal: pertama, minimnya peristiwa kesenian yang dilaporkan (hanya yang terkesan “besar,” dan dianggap “punya pamor” saja), di antara sekian banyak acara kesenian, terlebih yang hanya diadakan oleh segelintir orang, atau komunitas kecil. Kedua, peristiwa yang ditulis pun hanya berupa berita, bukan tulisan kritik, atau apresiasi. Dua hal itu pernah dicita-citakan GONG, namun sayangnya, gagal.
Maka, TBY, diharapkan Salim, bisa menjadi partner dalam pemberdayaan tradisi “mengapresiasi seni.” Sangat disayangkan juga, oleh Salim, bahwa istilah-istilah semacam, “presiden penyair” yang dulu muncul sebagai ekspresi jurnalisnya atas hal yang ditulisnya, atau memberi “nama” bagi fenomena tertentu, kini tak ada.
Praktisnya, menurut Salim, aspek pemberdayaan apresiasi ini dapat dilakukan TBY dengan mengadakan berbagai acara, misal workshop penulisan apresiasi, misalnya seperti pernah dilakukan oleh IVAA dan Kedai Kebun.
Agak sedikit berbeda nuansa adalah Wisnu, yang lebih tampak sebagai “pengamat.” Bagi Wisnu, dibandingkan dengan Gelanggang Remaja dan Taman Budaya di Lampung yang masih “tipikal Orba”, TBY jauh lebih hidup. Wisnu tergugah dengan pertunjukan musik Efek Rumah Kaca. Dari situ ia mulai melihat ada pergeseran dalam TBY: TBY sekarang cenderung mengarah ke anak muda, budaya populer yang santai, demoratis, dinamis, gaul. Dan baginya, ini suatu kemajuan. TBY diharapkan Wisnu juga mampu “memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan budaya, yang bisa mengundang anak muda untuk mengurusnya agar dinamis.”
Sementara Wisnu mengamati dari sudut pandang penikmat, pengamat lepas, Lono memposisikan dirinya dari sudut pandang lain, “Saya berusaha melihat dari sudut pandang dinas,” kata Lono Simatupang, yang memiliki pengalaman khususnya berkaitan dengan kebijakan negara atas kebudayaan. Singkatnya, dari perspektif itu lah Lono melihat reposisi TBY dalam arti sinerginya dengan berbagai elemen, misalnya Diperindag, Pariwisata, serta lembaga-lembaga lain.
Menurutnya, tiga pilar yang bersinergi, namun belum didukung dengan kebijakan yang matang, adalah pendidikan, kebudayaan, dan pariwisata. Dari sisi ini juga Lono mengungkapkan kemungkinan efek ekonomi dari kegiatan budaya yang selama ini kurang diperhitungkan. Bagaimana, misalnya, pertunjukan budaya seperti Reog Ponorogo, punya efek ekonomi bagi negara?
Tak hanya di Yogyakarta, dalam diskusi ini, pembicaraan mengenai TBY diperluas berkaitan dengan strategi politik negara. Hal ini dilakukan mengingat nasib Taman Budaya di kota-kota lain. Pada kenyataannya, Taman Budaya di beberapa kota keberadaannya lebih ‘tragis.’ “Ada yang dibubarkan, cantolannya nggak jelas di dinas-dinas mana saja, orientasinya juga tak jelas …” demikian ungkap Suwarno.
Maka, sesi kedua diskusi, secara khusus membahas TBY berkaitan langsung dengan keberadaan TBY sebagai, apa yang dikatakan Suwarno “representasi negara terhadap aktivitas kebudayaan.”
Posisi TBY, Indonesia, dan perihal keindonesiaan dibahas secara khusus oleh Aprinus Salam. Ia mengaitkan TBY dengan politik identitas. Aprinus mengenang Hamengkubuwono IX yang pernah mengatakan bahwa kita telah dilokalkan oleh politik identitas. Bagi Aprinus, HB IX “mengajarkan posisi jadi orang Jogja tapi berpikir Indonesia.”
Maka, “TBY berpeluang mengatasi politik identitas – dia harus melampaui – tak hanya berpikir mengenai “keyogyakartaan,” tapi kemungkinan kontribusi ke Indonesia. Kalau mau mengistimewakan Yogya, justru kita harus memikirkan NKRI. Reposisi dalam hal ini artinya TBY jangan terjebak politik identitas,” ungkapnya.
Sekilas, pembicaraan mengenai “keindonesiaan” ini tampak masih berada di tataran konseptual. Bahkan, sekadar usulan, harapan, “Jangka panjang akan mempertanyakan program TBY yang dikaitkan dengan kemungkinan seandainya TBY bisa menjadi wadah representasi keindonesiaan.”
Sehubungan dengan “keindonesiaan” ini, Salim menyambung dengan pertanyaan, “Bagaimana TBY memainkan peran menjaga keindonesiaan ini?” Dalam hal ini, Salim, sedikit banyak sudah memberi jawabannya, yaitu dengan cara meng-update informasi, misalnya kegiatan kebudayaan, adanya museum yang menyimpan karya seniman, TBY pendek kata, di sini, mungkin memfasilitasi atau mendukung adanya museum seniman, “Misal ada Kusbini, Nasjah Djamin, dan sebagainya … paling tidak membuat anak-anak bisa paham.”
Usaha TBY dalam menjaga “Indonesia,” menurut Salim, perlu kerjasama, “sinergi,” seperti yang dikatakan Lono. Semua pihak harus saling membantu. Sinergi ini, bagi Lono, dianalogikan sebagai “perkawinan” misalnya antara seni, desain produk, dan sebagainya, semacam jejaring, interseksi-interseksi (istilah Lono).
Mungkin, tak perlu muluk-muluk bercita-cita mengenai keindonesiaan. Dengan kemampuan TBY memfasilitasi ruang – menyediakan ruang terbuka pun, Ini berarti TBY sudah menjaga negeri kita, memfasilitasi “tradisi workshop” warga Yogyakarta.
2.2. Sikap Kedua: Kekuasaan vs. Kebudayaan
Sikap kedua ini muncul berdasar pemahaman khusus atas mekanisme TBY, mengenal dekat sosok Dyan, dan memperhatikan perkembangan TBY dari waktu ke waktu. Sikap ini paling tampak pada Ons dan Kuss.
“Problemnya ada pada tingkat hirarki yang tak paham.” Demikian ungkap Ons menanggapi ‘kebingungan’ beberapa orang atas problem apa yang terjadi di TBY. Untuk lebih jelasnya, Ons memberi contoh Umar Khayyam. “Sewaktu menjabat sebagai Dirjen, selalu mencari staf, orang yang tak perlu punya pangkat tertentu, namun memahami seluk beluk seni dan organisasi,” kata Ons. “Serangan” Ons tampak makin jelas: Gusti Yudha selaku orang yang dianggap tak berpengalaman bidang seni. Mengenai pangkat ini, dilanjutkan Thomas, yang juga mengkritisi keadaan kita, mengapa kepala dinas selalu (dulu) pangkatnya, “Ir”?
Singkatnya, sikap kedua ini memuat semacam kekhawatiran jika TBY nantinya, setelah berganti pimpinan, menjadi TBY yang tak lagi terbuka, melainkan TBY yang dianggap “adiluhung,” … aksesnya dibatasi untuk kalangan tertentu, dan kegiatan khusus lainnya yang menghambat fungsi TBY sebagai ruang publik.
Mungkin, kekhawatiran ini, didukung oleh pernyataan Gusti Yudha sendiri mengenai beberapa hal, salah satunya mengenai anggaran sewa ruang, “Seniman, kurator, pemilik seni mau pentas minta keringanan bahkan pembebasan,” katanya. Nampaknya, dalam kalimat itu tersirat bahwa, pertama, Gusti Yudha tak memahami geliat dan isu mengenai perupa, pemilik galeri, kurator, bahkan berbagai istilah yang ada dalam dunia seni rupa – ini mengindikasikan kemungkinan Beliau memang belum berpengalaman di bidang seni-budaya. Kedua, nampaknya, sudah ada asumsi bahwa biasanya para seniman “maunya gratis.” Ini asumsi Beliau, atau kah pernah dialami langsung oleh Gusti Yudha?
Hal lain yang menarik adalah perihal “relasi saudara” antara Gusti Yudha dengan Sultan HB X. Menanggapi hal ini, Kuss seakan punya ‘strategi’ untuk menggelitik Gusti Yudha, “Birokrasi Jogja mungkin juga bisa bersifat kekeluargaan. Mengingat hubungan kekerabatan antara Gusti Yudha dan Sultan, ada dugaan-dugaan, harapan-harapan bahwa mungkin anggaran juga besar, atau mungkin juga TBY punya keistimewaan tertentu sehingga tidak dibebani PAD.”
“Kami memang saudara, tapi profesionalitas dijaga,” jawab gusti Yudha, sembari tersenyum dan melanjutkan dengan topik lomba seni budaya karena lomba-lomba semacam itu tak bisa lagi didanai oleh APBD dan APBM. “Dulu lomba tari, karawitan tak ada lagi karena memang tak ada dananya dan tak diperbolehkan. Ini perlu terobosan,” lanjutnya.
Perihal lomba, khususnya lomba untuk anak-anak, agaknya cukup mendapat perhatian Gusti Yudha. “Lomba-lomba ini penting, mampu memberi suatu nuansa saingat yang sehat yang perlu kita antisipasi dari awal. Semoga anak biasa bersaing dan tak ada keminderan untuk hidup bermasyarakat,” ucapnya. Menurutnya, perlu juga ada semacam pertemuan, kerjasama dengan pihak pariwisata, dinas kebudayaan, seniman, dan budayawan untuk ikut mendukung lomba-lomba ini.
Masih mengenai lomba, kali ini bukan lomba untuk anak-anak, Gusti Yudha membandingkan kondisi Yogya dengan Jakarta, “Kalau Jakarta ada lomba perkutut, dan sebagainya, apa di sini bisa, peserta bayar, ada dananya … Sini tidak ada dana untuk perlombaan.”
Jawaban-jawaban Gusti Yudha, walau pun terkesan normatif, namun bagi segelintir orang, tetap lah menyimpan sebuah harapan.
Dari kecurigaan atas adanya birokrasi berbelit dan corak kepemimpinan hirarkis seperti diajukan Ons itu, kita bisa bertanya: mampukah TBY tetap berpihak pada publik, tak hanya pemangku kepentingan sepihak .. misalkan, contoh dari Ons, ketika ada pentas dari partai tertentu dengan tujuan kampanye ingin memakai ruang TBY, bagaimana Gusti Yudha menyikapinya?
Bagi Ons, ada kemungkinan yang bisa dilakukan TBY, yaitu meniru usaha Pers: memisahkan antara ranah bisnis dan ranah redaksional. Ons mengambil contoh pers Ekspress yang mati pada tahun 70-an. Waktu itu GM (Goenawan Mohamad) diminta oleh Ciputra membuat majalah, dan ia memisahkan antara redaksional dan bisnis. Jadi ada ranah redaksional yang punya otonomi di bidang isi, dan ranah bisnis yang urusannya dagang, keduanya bisa dipisah.
Menyinggung perihal rotasi kepemimpinan TBY, Thomas mempertanyakan pertimbangan rotasi tersebut, dan bagaimana sustainable (keberlangsungan hidup) program-program yang sudah ada (sejak kepemimpinan Dyan), mampukah Gusti Yudha menjaganya.
Hal lain yang juga sangat berkaitan dengan “kepentingan di balik penguasa baru” adalah transparansi anggaran (dana). Hal ini disinggung Thomas, diajukan berupa pertanyaan retoris pada peserta diskusi, terutama Gusti Yudha: apakah Gusti Yudha bersedia, misalnya, membeberkan anggarannya, cukup atau tidak untuk suatu kegiatan tertentu.
Perihal anggaran ini lebih praktis dipertanyakan Kuss, kaitannya dengan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Bagaimana kebijakan PAD untuk TBY? Apakah, misalkan, Kuss memberi contoh, “Jika TBY ada ArtJog, event seni rupa besar di mana kolektor, pemilik galeri di Eropa, dan sebagainya, semua datang ke Jogja, dan hotel-hotel penuh, kolektor Jakarta turun semua … apakah ini bisa dilihat sebagai nilai yang bisa disetarakan dengan PAD?” tanya Kuss. Pertanyaan ini agaknya memang tak terjawab sebab Gusti Yudha, mungkin, belum pernah berhadapan langsung dengan peristiwa seni besar yang mengubah “wajah” kota Jogja … atau mengamati khusus imbasnya.
Dalam hal ini, Kuss juga melontarkan kritik, semacam mempertanyakan kembali, apakah benar bahwa TBY memang memiliki masalah dalam hal anggaran. “Ketika ada MLM (Multilevel Marketing), yang notabene tak ada kaitannya dengan seni-budaya, diadakan di salah satu ruang di TBY, apakah itu berkaitan dengan problem anggaran di TBY sehingga dimasukkan ke dalam agenda acara TBY?” tanya Kuss.
“PAD hanya gedungnya saja,” jawab Gusti Yudha. Namun, ia tak banyak melanjutkan keterangan perihal PAD ini karena agaknya belum begitu hapal jumlahnya.
2.3. Sikap Ketiga: Kini dan Nanti
Mungkin, dari seluruh peserta diskusi hanya Gunawan lah yang paling hapal seluk beluk area TBY. Ia, sebagai anggota dan aktivis teater Garasi, tentu saja pernah bersentuhan langsung dengan ruang-ruang itu, berpengalaman dalam hal sewa menyewa ruang, bahkan sampai mengatur pencahayaan, kamar mandi, kursi, meja, dan seluruh fasilitas TBY. Pendek kata, hampir seluruh fasilitas TBY pernah difungsikan. Karena itu, mungkin, dia lah yang paling “ingat” menyebut “jasa” Bu Dyan, “Taman Budaya benar-benar menjadi “taman” karena memang semua bisa mengaksesnya … ini luar biasa. Dan dalam hal ini, peran Bu Dyan penting, yaitu menggulirkan perubahan yang sangat signifikan ini,” katanya.
Ya, Taman Budaya, seperti yang kita rasakan beberapa tahun terakhir ini, tak nampak “angkuh,” atau hanya milik kalangan tertentu, TBY lebih memasyarakat – dengan slogan “Jendela Yogyakarta”nya – seperti yang dikatakan Wisnu Matra, “TBY itu bukan lagi Taman Budaya untuk budaya yang serius dan jauh-jauh …”
Berkaitan dengan “transformasi kekuasaan” seperti yang diungkapkan Ons, Garasi punya pengalaman sendiri karena ia mengalami “krisis” akibat transformasi itu. Garasi yang berdiri pada 1993 menjelang reformasi, dan akhirnya harus mencari dana sendiri dengan mengubah diri menjadi Yayasan Teater Garasi pada 2002 – tapi mengambil hikmahnya, yaitu mereka jadi punya perpustakaan dan pusat dokumentasi sendiri.
Untuk visi ke depan, Gunawan juga menyinggung perihal “budaya workshop” dan “jejaring” TBY. Ia berharap TBY juga mampu mengumpulkan seluruh lembaga kebudayaan di Yogyakarta, saling bertemu, berkenalan, dan bekerjasama demi memberdayakan workshop ini.
2.4 Sikap Keempat: Aktif, yo monggo, Pasif, luweh
Menarik membandingkan Ons dengan Rain dalam hal pandangan politisnya. Kalau Ons seakan penuh kecurigaan atas adanya kepentingan politis di balik keberadaan kepala baru TBY, Rain sekilas tampak apatis – cenderung bernada ‘apolitis.’
Berbeda dengan Ons yang ungkapannya terkesan sangat “politis,” Rain Rosidi, generasi yang lebih muda di bawah Ons, seakan mengamini slogan “Ada nggak ada pemerintah, di Jogja, seni rupa baik-baik saja.” Bagi Rain, teman-teman seni rupa jaman sekarang ini, yang terdiri dari beragam komunitas, dalam proyek-proyek keseniannya, tak lagi bicara mengenai aspek kekuasaan pemerintah – ini berbeda jika kita bandingkan karya zaman Orde Baru, zaman GSRB, dan sebagainya
Rain bisa dikatakan generasi zaman yang sedang disibukkan dengan istilah “kontemporer” – dan ia juga ikut di dalamnya dengan menjadi kurator …. Salah satu praktik yang keberadaannya tak bisa dilepaskan dari perkembangan istilah kontemporer itu sendiri dalam era “booming” seni rupa 2007-2009.
Karena itu, TBY dilihatnya dari sudut pandang seni rupa belakangan ini. ia kaitkan langsung dengan semacam State Gallery dan praktik kuratorial – “Di negara maju,” katanya, “State Gallery merupakan galeri pemerintah yang tugasnya mengukur, melayani ekspresi budaya kota, atau daerah itu.” Rain mencontohkan Queensland Art Gallery di Australia yang ‘memfasilitasi’ budaya kota tersebut. Bagaimana dengan TBY? Penekanan Rain jelas: pertama, apakah mungkin TBY menjadi semacam State Gallery? Kedua, bagaimana aspek kuratorial yang mungkin diterapkan di TBY? Dengan kata lain, TBY bagi Rain, kalau tak mau apatis – tak hanya menjadi penyedia ruang, melainkan menjadi pelaku aktif, harus ikut memproduksi wacana lewat kuratorial yang dibagi per bidang (seni rupa, teater, tari, film, dan sebagainya).
Kalau kita menilik lebih jauh, TBY selama ini sudah berfungsi sebagai “ruang publik,” berbeda fungsi dengan State Gallery. Paling tidak, kita tak bisa menyamakan, atau membentuk TBY menjadi seperti Galeri Nasional, atau mungkin, kalau di Jogja, Jogja Gallery. Pemanfaatan dan fungsi yang diemban, agaknya, memang berbeda. Dan kalau disamakan, atau andai TBY dijadikan State Gallery, apakah ini malah mengecilkan sifat ruang publiknya?
Agaknya, pada Rain, tampak sikap demikian: jika TBY memang mau eksis, atau dengan kata lain, ikut aktif sebagai pelaku budaya, ya fasilitasi kurator. Kalau tidak, ya tak mengapa.
3. Jendela Yogyakarta: Kreatif, Informatif-Dokumentatif, Apresiatif
Dari keempat sikap di atas, terkesan bahwa kita “melupakan” posisi TBY - dalam arti sumbangan dan pencapaian Dyan untuk TBY. Hampir tidak disinggung perihal apa saja yang sudah dimiliki TBY semasa Bu Dyan. Dengan kata lain, kita seakan sudah memulai reposisi tanpa posisi sebelumnya diungkap.
Nampaknya, istilah reposisi di sini pun masih rancu. Adakah ia berarti mengulang posisi, memantapkan kembali posisi, atau memposisikan ulang? – apa pun artinya, dalam diskusi ini diakui cukup beragam cara peserta memahami “reposisi” itu walau tanpa sepatah kata pun dari Bu Dyan mengenai posisi TBY sebelum Gusti Yudha.
Akhirnya, hampir semua mengungkapkan apa yang seperti ditanyakan Dodi, “Mau dijadikan apa TBY?” dan diskusi “dituntun” seakan-akan memberi harapan-harapan, usulan-usulan dalam rangka pencarian posisi ini. Bagaimana posisi sebelumnya? Apa warisan “posisi” TBY selama kepemimpinan Bu Dyan (yang sayangnya, saat diskusi terjadi, tidak ikut ‘urun rembug,’ bercerita, atau bicara singkat mengenai apa saja yang sudah ada)? Dengan kata lain, pemetaan masalah yang dilakukan dalam diskusi ‘masih’ sebatas pelekatan harapan – tak tampak menelusuri, menoleh posisi sebelumnya.
Diskusi ini menyiratkan adanya semacam “ambisi,” cita-cita untuk melekatkan posisi baru bagi TBY. Berbagai harapan digulirkan di ruang diskusi untuk TBY. Namun yang paling terlihat adalah kecenderungan memilih TBY tetap sebagai ruang publik. TBY diharapkan dapat menjadi “wadah di mana terjadi movement, bukan pada bangunan dan kekurangan fasilitasnya, melainkan sebagai ruang bertemu,” tutur Thomas.
Mengenai “ruang bertemu” ini, agaknya, sudah kita miliki. Tugas kita lah sekarang melanjutkannya. Selebihnya, perihal dokumentasi di TBY, memang diakui perlu ada peningkatan, baik dalam hal mekanisme pengambilan, pendataan, penomoran, pemberian judul, penyimpanan, sampai cara aksesnya ke publik.
Hal lain yang muncul dan menguat adalah TBY sebagai ‘partner’ pengembangan apresiasi. Perihal apresiasi ini, nampaknya juga, sudah tampak ada di masa beberapa tahun terakhir ini. Kalau pun belum sesuai harapan, namun benihnya sudah ada. Tugas TBY sekarang lah yang melanjutkan, tentu saja dengan berbagai program pendukungnya (sinergi antara program baru dan program yang sudah ada).
Pemihakan kepentingan publik daripada kepentingan penguasa tampaknya menjadi tema sentral dalam pemikiran mengenai reposisi ini. TBY diharapkan tak memihak partai politik tertentu, (bukan berarti anti politik). Setidaknya, di sini bisa dirumuskan tiga jenis “tuntutan” untuk TBY selanjutnya – yang setengahnya mungkin pernah diusahakan dan sudah berhasil dilakukan – yaitu: pertama, TBY sebagai ruang (publik) kreatif, kedua, pusat dokumentasi dan informasi yang bisa dipercaya, dan ketiga, sebagai fasilitator dan partner dalam hal pengembangan apresiasi seni dan budaya (menyokong budaya workshop).
Karena itu, empat sikap di atas bisa diperhitungkan dalam gerak laju TBY selanjutnya. Singkatnya, empat sikap berbeda itu bisa dimaknai sebagai “dinamisasi” langkah TBY, menjaga TBY tetap fleksibel di tengah gairah kebudayaan masyarakat. Melalui sikap pertama, TBY bisa belajar ‘menjadi bukan-TBY,’ untuk melihat TBY. Paling tidak, dari sikap pertama itu, TBY bisa memiliki ‘panduan’ ketika mencipta program-program barunya, menambah dan melengkapi program yang sudah ada.
Sikap kedua adalah sikap kritis. Sikap ini bisa menjadi “otokritik” bagi TBY sendiri saat akan mengambil keputusan – mempertimbangkan kembali, mengingat bahwa kepentingan publik lah yang didahulukan. Sikap ini juga bisa menjadi semacam “remainder” TBY agar terus belajar, terbuka bagi perkembangan seni budaya di Yogyakarta.
Sikap ketiga dapat ‘digunakan’ TBY sebagai penuntun untuk selalu mengelaborasi, mengevaluasi – menoleh ke belakang untuk maju (untuk maju kita perlu menengok ke belakang, sekadar meyakinkan, mengecek apa yang tertinggal … apa yang perlu kita bawa). Singkatnya, perencanaan dan pembuatan program tak bisa tidak mengelaborasikannya dengan yang sudah ada, atau bahkan sudah terbukti berjalan sebelumnya.
Sikap keempat bisa ‘difungsikan’ sebagai celah bagi TBY, dorongan untuk tak hanya menjadi yang pasif, tapi kadang-kadang, perlu menjadi motor –TBY masa depan diharapkan tak hanya dimotori, digerakkan, melainkan juga menjadi penggerak, penyemangat, pemberi daya bagi masyarakat Yogya, mengingat kata Ons, “TBY harus mampu mengakomodasi komunitas, ‘siluman-siluman’ yang nongkrong di beringin TBY.”
-sty-